Latest News
You are here: Home | Umum | Hati-hati di 2014, Penjualan Properti Turun dan Kenaikan Harga Melambat
Hati-hati di 2014, Penjualan Properti Turun dan Kenaikan Harga Melambat

Hati-hati di 2014, Penjualan Properti Turun dan Kenaikan Harga Melambat

Duniaindustri.com (November 2013) — Fitch Ratings memperkirakan penjualan properti di Indonesia tahun depan akan mengalami penurunan dan mengalami pelambatan kenaikan harga. Fitch Ratings Ltd merupakan suatu lembaga pemeringkat kredit internasional (credit rating agency) yang merupakan salah satu dari 3 organisasi pemeringkat statistik nasional (Nationally Recognized Statistical Rating Organizations/NRSROs) yang ditunjuk oleh Securities and Exchange Commission ( badan pengawas pasar modal Amerika} bersama-sama dengan Moody’s dan Standard & Poor’s.

Dalam laporan yang dirilis Rabu (21/11) di Sydney disebutkan, penurunan penjualan dan perlambatan kenaikan harga properti tersebut karena adanya pengetatan aturan untuk rumah kedua, rata-rata harga jual yang lebih tinggi, dan terbatasnya peluncuran proyek baru. Penurunan penjualan akan lebih kentara pada segmen properti kelas menengah dan kelas atas, dimana para pembelinya pada umumnya bisa menunda pembelian.

Fitch memandang para pengembang properti perumahan besar, berbiaya rendah, dan memiliki bank tanah berkualitas tinggi berada dalam posisi yang lebih baik untuk mendapatkan dana tunai meskipun penjualannya lebih rendah. Pengembang dengan tanah siap bangun yang memadai akan mampu melanjutkan upaya untuk menghasilkan arus kas dari penjualan dan mengurangi akuisisi tanah demi mendapatkan uang tunai sebagai penyangga likuiditasnya.

Fitch berpendapat, harga perumahan di Indonesia meningkat tajam sekitar 30% per tahun selama  tiga tahun terakhir. Meskipun terjadi kenaikan yang cukup tinggi dalam masa yang singkat, akan menimbulkan kekhawatiran di tempat lain, namun tidak terjadi di Indonesia. Menurut Fitch, setelah sempat naik dua kali lipat, harga properti di Indonesia kini menjadi lebih wajar dibandingkan harga properti di kawasan.

Berdasarkan observasi Fitch tentang rasio keterjangkauan (harga/pendapatan) pada 2012 , rasio untuk Jakarta sebesar 12,64, lebih rendah dibanding Manila 14,69, Mumbai 13,61, dan Hanoi 29,46. Fitch mengharapkan pertumbuhan rata-rata harga jual per tahun akan melambat sehingga menjadi lebih berkelanjutan sebesar 7%-10%.

Kontrol pemerintah yang lebih ketat terhadap pasar kredit perumahan diperkirakan akan menahan pertumbuhan harga jual rata-rata. Kendati demikian, sebagaimana halnya banyak emerging market, mempunyai opsi investasi yang terbatas dan sebagian besar pembelian rumah menggunakan uang tunai. Kondisi tersebut membatasi pengaruh kebijakan pembatasan permintaan KPR yang sudah diterapkan.

Populasi berusia muda Indonesia juga memberikan dukungan penting terhadap permintaan perumahan, terutama bagi pemilik rumah pertama. Menurut Fitch, lebih dari 50% dari 250 juta penduduk Indonesia berusia di bawah 30 tahun, dan kaum muda itu akan membeli rumah pertama dalam waktu dekat.

Menurut catatan duniaindustri.com, kenaikan harga properti sebesar 30% per tahun selama tiga tahun terakhir cukup tinggi dan menyulitkan tingkat keterjangkauan konsumen. Hasil riset Jones Lang LaSalle menyebutkan gedung di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia sudah naik sebesar 30%.

Tren ini, kata Kepala Riset Jones Lang LaSalle, Anton Sitorus, akan terus berlangsung sampai beberapa tahun ke depan. Penyebabnya, tambah Anton, karena banyaknya perusahaan lokal dan asing yang berbondong-bondong ingin menyewa. “Mereka ingin memanfaatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Anton.

Memang, dalam tiga tahun belakangan ini ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6%. Berbarengan dengan itu, jumlah orang kaya juga tumbuh cukup pesat. Menurut lembaga survei Wealth-X, tahun 2012 lalu orang Indonesia yang punya kekayaan di atas US$ 30 juta (Rp 285 miliar) berjumlah 785 orang. Jumlah tersebut naik 4,7% dibandingkan tahun 2011.

Namun, perekonomian Indonesia belakangan ini berjalan lambat karena pengaruh ekonomi global. Bahkan, pemerintah pesimistis target 6,3% yang ditempel di APBN-P 2013 akan tercapai. Meski demikian, banyak pengusaha nasional dan asing merasa yakin Indonesia mampu melewati masa sulit ini dan akan tumbuh kembali setelah Pemilu 2014.

Potensi Bubble

Naiknya harga sewa ruang dan properti memang tak bisa lepas dari melonjaknya harga tanah di Jakarta. Menurut survei Bank Indonesia baru-baru ini, Jakarta Selatan menjadi wilayah yang mengalami kenaikan harga tanah paling tinggi di Jakarta. Harga tanah di Jakarta Selatan rata-rata naik 4,41%.

Kawasan Pancoran-MT Haryono dan Kemang-Bangka adalah dua wilayah di Jakarta Selatan yang kenaikannya paling tinggi. Harga tanah di dua kawasan itu berkisar Rp 5 juta/ meter persegi hingga Rp 25 juta/meter persegi.

Selain dua kawasan ini, Kelapa Gading juga termasuk kawasan yang harga tanahnya naik cukup tajam. MenurutSenior Manager Research Knight Frank, Hasan Pamudji, tahun 2005 harga tanah di kawasan ini masih Rp 5/meter persegi. “Tapi, tahun 2012 sudah melonjak lebih 100% menjadi Rp 11 juta-Rp 12 juta/meter persegi,” ujar Hasan.

Di luar Jakarta, kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghada, harga tanah juga naik di Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. “Lihat saja, di kawasan itu marak pembangunan rumah maupun proyek properti lainnya,” ujar Ali.

Harga properti dan tanah memang sudah melambung, bahkan dianggap sudah tidak terkendali. Banyak kalangan khawatir, cepat atau lambat harga properti akan jatuh alias crash. Ini bisa terjadi bila potensi pertumbuhan bisnis tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga properti.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, A Tony Prasetiantono mengingatkan, derasnya aliran dana ke sektor properti berpeluang menimbulkan masalah kredit perumahan (sbprime mortgage). Ini pula yang memporak-porandakan perekonomian Amerika Serikat di tahun 2008. “Aliran kredit ke sektor properti sudah mengarah ke bubble,” katanya.

Tentu saja, ini berbahaya. Sebab bila tak terkendali, bisa menimbulkan kredit macet. Untungnya pada semester I-2013, pertumbuhan kredit properti perbankan mulai berjalan lambat. Menurut data Bank Indonesia, kredit properti hanya tumbuh 20,9% menjadi Rp 433,3 triliun. Padahal, pada 2012 pertumbuhan kredit properti mencapai 35%.(*/berbagai sumber)