Latest News
You are here: Home | Umum | DPR: Merger XL dan Axis Berpotensi Ulang Skandal Divestasi Indosat
DPR: Merger XL dan Axis Berpotensi Ulang Skandal Divestasi Indosat

DPR: Merger XL dan Axis Berpotensi Ulang Skandal Divestasi Indosat

Duniaindustri.com (Desember 2013) – Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkhawatirkan langkah merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) kepada PT Axis Telekom Indonesia (Axis) berpotensi mengulang kasus mega skandal divestasi Indosat pada 2002, di mana ada badan usaha milik negara (BUMN) yang berubah menjadi Penanaman Modal Asing (PMA).

Saat itu untuk memuluskan langkah mencaplok Indosat, Singapore Technologies Telemedia (STT) menggelontorkan dana sebesar Rp5,6triliun. Jumlah tersebut belum termasuk fee yang disebut-sebut mencapai Rp 500 miliar kepada pihak-pihak tertentu, sebagai transaksi di bawah meja agar proses divestasi berjalan mulus.

Hal ini dikatakan Anggota DPR Dari Komisi I Chandra TirtaWijaya setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meningkatkan penilaian menjadi penilaian menyeluruh terhadap akuisisi XL Axiata ke Axis Telekom Indonesia.

Bahkan Chandra mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki kejanggalan dalam akuisisi tersebut.

Dia menilai keputusan KPPU yang pada akhirnya mengeluarkan keputusan untuk menunda pengajuan merger antara XL dan Axis, sebab dinilai berpotensi memunculkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

“Lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dapat juga bertindak demi mencegah terjadinya kerugian negara karena merger dua operator itu dalam prosesnya banyak ditemukan kejanggalan dan tidak menutup kemungkinan adanya praktek gratifikasi kepada penyelenggaran negara,” ujarnya.

Menurut Chandra, frekuensi adalah sumber daya terbatas yang dialokasikan ke operator melalui modern licensing. Jadi diberikan hak pakai namun juga diberikan kewajiban.

Dia mencontohkan, lelang blok tambahan 3G terakhir dilakukan melalui beauty contest. Untuk mendapat tambahan spektrum tersebut, operator diwajibkan melampirkan komitmen pembangunan yang mengikat.

“Motivasi XL merger denganAxis semata untuk mendapatkan frekuensi. Tapi yang perlu ditanyakan, apakah XL sudah menyampaikan kepada pemerintah komitmen pembangunan yang dilampirkan untuk memperoleh tambahan spektrum tersebut? Jangan-jangan seperti komitmen di modern licensing, dapat izin dan frekuensinya tapi tidak menjalankan komitmennya dengan alasan tidak sanggup bangun. Jelas hal ini hanya menguntungkan XL saja,” ujarnya.

Chandra menegaskan, pemberian frekuensi 1800 MHz secara langsung adalah melanggar prosedur. Seharusnya jika mengacu kepada regulasi, frekuensi eks Axis harus ditarik dulu semuanya, baik 15 MHz di 1800 MHz (2G) dan blok 11 dan 12 di 2100 MHz (3G).

Setelah itu baru direalokasikan kembali dengan cara seleksi dan evaluasi, sesuai Permenkominfo No.17 tahun 2005 dan PermenKominfo No.23 tahun 2010.

Jika pemerintah menginginkan pemasukan negara yang maksimal seharusnya mereka menarik kembali 1800 MHz dan melakukan tender ulang karena harga per Mhznya jauh lebih mahal daripada 2100 MHz.

Yang terjadi saat ini pemerintah justru memberikan 1800 MHz kepada XL, alias melayanglah potensial keuntungan yang lebih besar.

Dengan melihat berbagai kejanggalan yang ada, Chandra tak segan mendorong KPK juga ikut mengawasi proses merger XL dan Axis yang jelas-jelas tidak fair dan berpotensi merugikan negara.

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyimpulkan bahwa akuisisi XL terhadap Axis akan dilanjutkan ke tahap penilaian menyeluruh. Karenanya, KPPU belum merestui akuisisi ini.

Penilaian menyeluruh dilakukan disebabkan dalam penilaian awal, KPPU melihat bahwa berdasarkan analisa sementara pasar bersangkutan jasa telekomunikasi seluler di beberapa wilayah dan pasar bersangkutan terkait lainnya terdapat tingkat konsentrasi yang melebihi batas.

Dalam penilaian itu, KPPU akan meminta keterangan dari beberapa pihak terkait, termasuk XL sebagai pemohon konsultasi untuk memberikan klarifikasi dan konfirmasi atas data yang diperoleh.

Hal-hal yang akan diklarifikasi dan dikonfirmasi ialah sejauh mana akuisisi itu akan menimbulkan perilaku persaingan tidak sehat atau menghasilkan efisiensi pada pasar bersangkutan atau akan meningkatkan entry barrier/hambatan masuk dan atau dilakukan untuk menyelamatkan pelaku usaha yang diakuisisi dari kebangkrutan. Penilaian akan berlangsung dalam waktu 60 hari kerja.

“Sesuai dengan perintah UU, kami akan tetap menilai akuisisi ini secara menyeluruh untuk melihat sejauh mana dampaknya bagi persaingan,” kata Ketua KPPU Nawir Messi. Proses penilaian ini akan berjalan dan belum sampai pada kesimpulan atas rencana akuisisi itu dapat diteruskan atau tidak.

KPPU dapat pula memberikan pendapat komisi yang meminta para pihak dalam akuisisi melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk mencegah terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini.

“Opsi-opsi ini akan disimpulkan setelah komisi selesai melakukan penilaian menyeluruh,” jelasnya dalam keterangan tertulis.

Perlu Diselidiki

Pengamat ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond Baswir, menyatakan mendukung upaya KPPU untuk menilai secara menyeluruh aksi merger XL dan Axis agar dapat menjadi acuan terkait konsentrasi pasar di industri telekomunikasi. “Bukan hanya KPPU, instansi pemerintah yang lain seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) juga harus menyiapkan kajian agar merger itu tidak merugikan konsumen,” ujarnya.

Menurut dia, praktik merger di dalam industri telekomunikasi bisa wajar terjadi jika sesuai regulasi yang berlaku. Namun, jika ada indikasi pelanggaran regulasi, tentu regulator harus tegas menolaknya. “Sementara terkait indikasi penyalahgunaan wewenang pejabat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR harus menindaklanjutinya agar tidak ada pelanggaran,” katanya.

Revrisond menjelaskan regulasi merger harus mengacu pada Pasal 28 UU No. 5/1999 yang menyatakan bahwa merger dilarang dilakukan jika mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat tersebut terjadi jika setelah merger pelaku usaha dapat diduga melakukan perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan/atau penyalahgunaan posisi dominan.

Untuk menilai merger, menurut dia, perlu dilakukan analisis terkait konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar, potensi perilaku antipersaingan, efisiensi, kepailitan. “Intinya, merger yang dilakukan dilarang menyebabkan monopoli,” ucapnya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Ikhsan Mojo menilai merger XL dan Axis berpotensi mengganggu pangsa pasar di industri telekomunikasi Indonesia. Pasalnya, ada pemain lain yang akan terlampaui konsentrasi pasarnya jika XL dan Axis merger. Terlebih lagi, konsentrasi pasar perlu diperhatikan regulator dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar tidak terjadi pelanggaran seperti 2008-2009.

“Tercium kebusukan dalam merger XL dan Axis karena adanya konsentrasi pasar yang tinggi, ini patut dicurigai karena bisa menimbulkan kerugian bagi konsumen dan negara,” ujarnya.

Menurut dia, lembaga legislatif perlu menelusuri dan menyelidiki aksi korporasi ini sehingga dapat dicegah dan ditindak sesuai regulasi yang berlaku. “Jangan sampai konsumen dan negara dirugikan,” tuturnya.(*/berbagai sumber)