Duniaindustri (Mei 2012) — PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), produsen baja terbesar di Indonesia, menargetkan pendapatan di 2012 sebesar US$2,3 miliar atau setara Rp20,9 triliun (nilai tukar Rp 9.100/US$), meningkat 12%-15% dibandingkan tahun lalu Rp17,91 triliun. Harga hot rolled coil (HRC) yang diperkirakan naik 10%-12% akan menjadi penopangnya.
Direktur Utama Krakatau Steel Fazwar Budjang mengatakan, “Pendapatan perusahaan hingga akhir tahun ini bisa tumbuh 10%, atau sekitar US$2,3 miliar.”
Dia optimistis permintaan baja dunia akan meningkat di kuartal II 2012. Pada kuartal I 2012, KS mencatat penurunan laba bersih 58,9% menjadi Rp58,3 miliar akibat adanya beban usaha sekitar 17,6%, beban bunga 59,3%, dan rugi kurs Rp26,7 miliar. “Kami akan melakukan lindung nilai (hedging) sekitar 30% dari total kebutuhan valas perseroan,” paparnya.
Direktur Keuangan Krakatau Steel Sukendar menambahkan pada tahun ini, perseroan akan menganggarkan belanja modal sekitar US$300-350 juta untuk pembangunan blast furnace dan revitaliasi. “Capital expenditure kami pada 2011-2014 dengan total investasi perseroan dan anak perusahaan senilai US$1,2 miliar, di mana US$200 juta sudah digunakan pada 2010-2012 untuk menyelesaikan revitalisasi hot strip mill,” tuturnya.
Catatan duniaindustri.com menyebutkan, pasar baja di Indonesia diperkirakan naik 7,9% di 2012 menjadi 10,25 juta ton dibanding 2011. Jika harga baja dunia—menurut Middle East Steel—mencapai US$ 690-720 per ton di Januari 2012, maka pasar baja di Indonesia ditaksir senilai US$ 7,38 miliar atau Rp 66,4 triliun pada tahun ini.
Nilai pasar baja di Indonesia dihitung tim redaksi duniaindustri.com berdasarkan data World Steel yang disesuaikan dengan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA). Harga baja yang digunakan merujuk pada data Middle East Steel—lembaga riset baja—yang menyebutkan harga baja canai panas (hot rolled coils/HRC) yang menjadi patokan harga baja dunia mencapai US$ 690-720 per ton.
Nilai pasar baja di Indonesia di 2012 diperkirakan naik 4,2% dibanding 2011 sebesar Rp 63,7 triliun. Peningkatan dipicu oleh konsumsi baja di sektor konstruksi dan manufaktur yang diperkirakan naik sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramalkan bisa mencapai 6,5%. Sektor konstruksi diperkirakan tumbuh 7,3%, sedangkan dan sektor manufaktur ditargetkan tumbuh di atas 6,5%.
Khusus kebutuhan baja di dalam negeri, selain ditopang pertumbuhan ekonomi, konsumsi baja juga didorong oleh peningkatan produksi otomotif. Indonesia termasuk salah satu konsumen sekaligus produsen baja yang besar. Namun yang terjadi saat ini, produksi baja nasional tidak pernah seimbang dengan konsumsi kebutuhan dalam negeri.
World Steel Association menyatakan produksi baja di Indonesia berkisar antara 3,5 – 4,2 juta ton per tahun sepanjang 2005-2009. Dengan produksi sebesar itu, Indonesia menempati urutan ke-34 produsen baja terbesar di dunia.
Asosiasi Baja Dunia merekap data produksi baja dari 170 perusahaan baja skala besar, termasuk 18 dari 20 perusahaan baja terbesar di dunia. Data produksi baja dari Asosiasi Baja Dunia merepresentasikan 85% produksi baja global.
Pada tahun ini, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi baja nasional diperkirakan mencapai 6-6,5 juta ton. Sehingga masih terjadi defisit pasokan baja di dalam negeri mencapai 3-3,5 juta ton. Defisit pasokan itu terpaksa harus dipenuhi dari impor.(Tim redaksi 01)