Duniaindustri.com – Bukan hanya China yang mengekspor barang ilegal atau selundupan ke Indonesia, ternyata sebaliknya juga demikian. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menduga terjadi selisih nilai perdagangan antara Indonesia dan China yang mencapai sekitar US$ 10 miliar atau Rp 91 triliun karena adanya barang-barang Indonesia yang masuk China melalui pasar gelap.
Dahlan mengatakan, “Saya khawatir barang Indonesia banyak yang diselundupkan, atau tidak melalui pelabuhan-pelabuhan resmi.”
China mencatat nilai perdagangan dengan Indonesia mencapai US$ 60 miliar, sedangkan Indonesia hanya mencatat perdagangan dengan China sekitar US$ 50 miliar. Terjadi selisih (gap) yang cukup tinggi sekitar US$ 10 miliar dalam data perdagangan kedua negara. Untuk membenahi masalah tersebut, pemerintah kedua negara akan melakukan pemantauan langsung jalur ekspor serta memperkuat data dan statistik.
Duniaindustri.com mencatat dua tahun kesepakatan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) berjalan tanpa halangan dan tampaknya barang China makin mendominasi pasar negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum, industri China menguasai dunia. Bahkan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pun kewalahan menghadapi derasnya ekspor industri China dengan kapasitas produksi yang massif.
Lantas, bagaimana dengan industri Indonesia? Kalangan pengusaha sudah lama berteriak bahwa industri nasional sulit melawan industri China dengan dukungan pemerintah negeri Tirai Bambu itu, seperti insentif suku bunga, subsidi ekspor, kemudahan perizinan, infrastruktur yang memadai. Namun, gaung pengusaha nasional hanya sayup terdengar di permukaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sepanjang 2011 total impor nonmigas Indonesia dari China sebesar US$ 25,53 miliar atau sekitar Rp 229,5 triliun (kurs Rp 9.000/US$), sementara ekspor nonmigas Indonesia ke China hanya sebesar US$ 21,59 miliar. Defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China tahun 2011 semakin meningkat dibandingkan 2010. Pada 2010, defisit perdagangan Indonesia-China sekitar US$ 2 miliar, kemudian membengkak menjadi US$ 3,9 miliar pada 2011. China menjadi negara asal impor terbesar Indonesia, mencapai 18% dari total impor, naik dari 12% pada 4-5 tahun lalu. Sekitar 57% dan 34% impor dari China itu barang baku dan barang modal, 10% barang konsumsi.
Kenaikan impor itu disebabkan oleh kian murahnya produk-produk itu secara relatif dibandingkan dengan impor serupa dari negara lain. Akibatnya Indonesia menggantikan negara asal impornya dari Jepang, Eropa, dan AS ke China. Terdapat tujuh produk impor RI dari China yang naik tajam, yaitu alas kaki naik 97%, furnitur 76%, tekstil dan produk tekstil 62% (termasuk untuk bahan baku), elektronik 61% (terutama telepon genggam dan komputer notebook), besi dan baja 39%, makanan dan minuman 38%, serta mainan anak 35%.
Dari laporan berbagai asosiasi industri diketahui, industri sepatu diperkirakan paling terpukul oleh serbuan produk impor. Sepatu produksi dalam negeri akan mengalami penurunan pangsa pasar dari 60% menjadi 50%. Selain sepatu, industri mainan anak akan terpukul akibat serbuan barang impor China. Sekitar 80-90% pangsa pasar mainan dalam negeri akan dikuasai oleh produk dari China. Industri lain yang mengalami tekanan adalah lampu hemat energi. Pangsa pasar lampu hemat energi dalam negeri diperkirakan turun dari 20% menjadi 15%.
Hampir 90% produk industri yang ada di Indonesia didominasi barang dari China. Produk ‘made in China’ merambah dari mulai mainan anak, baterai, pakaian, sepatu, produk plastik, tas, alat rumah tangga, elektronik, pernak-pernik hadiah unik, peralatan rumah tangga, jam tangan dan aksesoris, produk fashion, hingga produk berat seperti semen, keramik, dan lainnya. Hanya sedikit sektor industri yang tidak diproduksi China, antara lain rokok kretek dan makanan khas Indonesia.
Apalagi dengan adanya krisis global jilid dua di Amerika Serikat dan Eropa, barang China akan ‘pindah haluan’ ke pasar yang masih memiliki potensi pertumbuhan, misalnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Penetrasi barang China itu mulai terasa dengan maraknya pameran dan eksibisi produk Negeri Tirai Bambu tersebut.
Bagi konsumen, tentu produk industri China menguntungkan karena murah harganya, meski kualitasnya masih rendah. Namun, jika masyarakat hanya mengutamakan harga, bagaimana nasib produk lokal. Padahal dengan mengutamakan produk lokal, berarti kita berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja di Indonesia, bukan menghidupi industri China.(Tim redaksi 02)