Duniaindustri.com (Juli 2018) – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan peringatan kepada Indonesia karena jumlah ekspor Indonesia ke AS lebih tinggi dibanding jumlah ekspor AS ke Indonesia. Karena itu, saat ini pemerintah AS sedang melakukan pengawasan terhadap 124 produk ekspor Indonesia.
Pengawasan itu dilakukan seiring dengan kebijakan pemerintah AS yang mulai mengkaji total 3.500 produk-produk yang masuk Generalized System of Preference (GSP) atau daftar produk yang bebas bea masuk yang dihasilkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Dia (Trump) sudah kasih kita warning bahwa ekspor kita lebih banyak pada dia dan kita harus bicara pada dia mengenai beberapa aturan-aturan di mana dia memiliki special tariff placement yang dia mau cabut. Terutama di bidang tekstil dan lain-lain,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta.
Dia menjelaskan memang saat ini keadaan perekonomian global tengah berada dalam ketidakpastian (uncertainty). Pemicunya kerap berasal dari kebijakan yang diambil Presiden AS Donald Trump yang memang susah ditebak.
“Kita tidak tahu perang dagang AS-China ini kayak apa, apa benar terjadi. Kemarin saya ke AS, tidak ada yang mengerti Trump maunya apa,” jelas Sofjan yang juga Ketua Tim Ahli Ekonomi Wakil Presiden.
Oleh karena itu, dia mengharapkan semua pelaku industri untuk tetap menjaga situasi bisnis masing-masing sembari terus melakukan koordinasi dengan pemerintah. “Jadi jaga saja cash flow-nya masing-masing, jaga perusahaan masing-masing, karena efeknya tidak akan terjadi segera, tapi setelahnya,” tandasnya.
Seperti diketahui, sejumlah produk ekspor dari Indonesia ke Amerika Serikat bebas bea masuk karena kebijakan Generalized System of Preferences (GSP). Kini kebijakan tersebut sedang dikaji ulang oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Ada 124 barang yang direview ulag oleh Trump. Trump berpotensi mencabut GSP untuk barang-barang tersebut. Apabila Trump mencabut GSP sejumlah barang tersebut, artinya ada bea masuk yang harus dibayarkan.
Sofjan menjelaskan, Indonesia berpotensi membayar bea masuk sekitar US$ 1,8 miliar per tahun atau setara Rp 25,2 triliun (Kurs Rp 14.000/US$) bila Trump mencabut GSP terhadap barang-barang tersebut.
“Saya percaya kalaupun ditarik semua (124 barang), kita cuma dari US$ 20 miliar trade (perdagangan) dengan AS, itu paling kita kena (bea masuk) US$ 1,7-1,8 miliar. Tidak terlalu besar menurut saya akibatnya yang langsung dari GSP itu,” Sofjan Wanandi ditemui di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (9/7).
Namun dia menilai, bea masuk senilai US$ 1,8 miliar untuk barang Indonesia jangan dianggap sebagai kerugian buat Indonesia. “(Jika GSP dicabut), bukan rugi lah, itu kita tetap bisa ekspor, cuma kita harus tetap bayar pajak,” terangnya.
Selain itu, dari total 124 barang yang direview, diharapakan tidak seluruhnya perlakuan khususnya dicabut. “Saya nggak percaya semuanya dicabut, cuma beberapa dia perlu juga,” tambahnya.
Tidak Khawatir
Merespons kondisi tersebut, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menganggap kalangan pengusaha Indonesia tidak perlu khawatir atas kajian ulang AS itu.
Airlangga menyebut pemerintah telah melobi AS untuk tetap memasukkan Indonesia dalam daftar penerima manfaat sistem tarif preferensial atau generalized system of preferences (GSP).
“Kami tidak melihat ini akan menjadi ancaman yang besar. Kita komunikasi dan lakukan pembicaraan,” kata Airlangga usai rapat koordinasi di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (09/07).
GSP adalah platform AS untuk memberikan keringan bea masuk terhadap eksportir dari negara berkembang atau miskin. Tahun 2011 Indonesia adalah satu dari lima negara yang menikmati manfaat terbesar dari GSP AS, selain India, Thailand, Brasil, dan Afrika Selatan.
Sejak April lalu, AS mempertimbangkan ulang pemberian fasilitas itu untuk Indonesia dan India, terutama dari sudut pandang akses produk mereka di dua negara tersebut.(*/berbagai sumber/tim redaksi 07)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: