Duniaindustri (Oktober 2011) — PT Triputra Agro Persada Group, perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit dan karet, mendapatkan kredit sindikasi dari sembilan bank sebesar US$ 260 juta atau Rp 2,34 triliun. Kesembilan bank tersebut adalah DBS, OCBC, Standard Chartered, Rabobank, Bank of Tokyo-Mitsubishi, UOB, ANZ-Panin, Indonesia Eximbank, dan OCBC-NISP.
Presiden Direktur PT Triputra Agro Persada Arif P Rachmat mengatakan, fasilitas kredit ini ditujukan untuk tujuh perusahaan dari 31 perusahaan aktif yang berada dalam naungan Triputra Agro Persada Group.
Dana tersebut akan digunakan untuk pengambilalihan pembiayaan bilateral lima kebun sawit yang sudah menghasilkan. “Selain itu juga untuk penambahan pengembangan penanaman kelapa sawit dan pembangunan dua pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dengan total kapasitas olah sebesar 75 ton TBS (tandan buah segar) per jam untuk jangka waktu tiga tahun mendatang,” ujar Arif pada acara penandatangan secara simbolis perjanjian fasilitas kredit sindikasi dengan sembilan bank di Jakarta.
Menurut Arif, ada beberapa lahan sawit yang sudah berproduksi dan siap diambil alih. Lahan tersebut berada di Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Sementara itu untuk pembangunan pabrik baru tersebut akan ditempatkan di Kalimantan Tengah.
Saat ini, perusahaan ini telah memiliki pabrik pengolahan CPO di Jambi berkapasitas 60.000 ton, dua pabrik di Kalimantan Tengah berkapasitas 45.000 ton dan 60.000 ton, dan di Kalimantan Timur berkapasitas 45.000 ton. “Pabrik baru tersebut nantinya akan kami bangun di Kalimantan Tengah. Jadi nanti di Kalimantan Tengah, kami punya tiga pabrik,” kata Arif.
Tenor fasilitas kredit tersebut lima tahun, yang dapat diperpanjang 2 (dua) tahun. “Dengan perolehan fasilitas kredit ini yang disertai pembiayaan akuisisi kebun, Triputra Agro Persada Group semakin memantapkan posisinya sebagai salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit dan karet terbesar di Indonesia,” lanjut Arif.
Komisaris PT Triputra Agro Persada Toddy M Sugoto menambahkan Triputra Agro Persada Group yang didirikan enam tahun lalu, pertumbuhannya tergolong cepat. Terbukti mampu mengembangkan usaha yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, dengan jumlah lahan efektif yang dimiliki saat ini sekitar 277.000 hektare.
Jumlah lahan sawit dan karet yang telah tertanam sampai dengan September 2011 sekitar 111.000 hektare, dengan target tahun ini sekitar 50.000 hektare. “Melihat kemampuan kinerja penanaman kami selama ini, kami yakin seluruh lahan efektif akan tertanam dalam waktu tiga tahun mendatang. Oleh karena itu, akuisisi lahan kebun merupakan salah satu prioritas kami”, lanjut Toddy.
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Dani Prabawa menyatakan di tengah kondisi pasar keuangan global saat ini, transaksi ini tetap memperoleh dukungan yang sangat kuat dari sektor perbankan, mengingat industri kelapa sawit adalah salah satu sektor strategis bagi Indonesia.
“Posisi Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia memiliki prospek cerah, baik saat ini maupun ke depannya,” kata Dani seusai menghadiri acara penandatanganan perjanjian fasilitas kredit sindikasi PT Triputra Agro Persada beserta anak perusahaannya.
Investasi Tambahan
Tujuh perusahaan raksasa di sektor perkebunan dan pengolahan sawit juga menanamkan investasi dengan total Rp 20 triliun di Indonesia mulai tahun ini. Investasi itu dipengaruhi dukungan pemberian insentif berupa tax holiday dan tax allowance serta perubahan bea keluar ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat menjelaskan tujuh perusahaan itu adalah Wilmar International Group yang menanamkan investasi Rp 8,1 triliun, Sinar Mas Group dengan investasi Rp 2,3 triliun, Musim Mas Group Rp 2 triliun, Permata Hijau Group Rp 2 triliun, Domba Mas Group Rp 1,6 triliun, PTPN III dan Ferrostal AG Rp 3 triliun, dan PT VVF (industri oleokimia di India) Rp 900 miliar.
“Investasi itu didorong oleh kebijakan restrukturisasi bea keluar ekspor CPO dan produk turunannya,” katanya.
Menurut dia, pemerintah akan terus mendorong upaya pengembangan industri hilir CPO. “Hilirisasi bergerak di bidang industri oleochemical dan oleofood terintegrasi, biodiesel, fatty acid dan fatty alcohol, serta personal care,” katanya.
Menperin juga mengatakan, perusahaan global seperti Unilever dan P&G juga siap berinvestasi di sektor hilir kelapa sawit nasional.
Perusahaan-perusahaan raksasa minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) makin agresif ekspansi di Indonesia. Meski terdapat kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut yang dapat menghambat ekspansi lahan, perusahaan-perusahaan CPO terus mengakuisisi lahan untuk perkebunan komoditas minyak sawit.
Apalagi, saat ini Indonesia sudah melampaui Malaysia menjadi produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia. Sepanjang 2010, nilai devisa ekspor minyak sawit mentah dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar, naik 50% lebih dari 2009 yang berjumlah US$ 10 miliar. Rata-rata ekspor CPO pada 2010 meningkat tajam dibandingkan 2009 sebesar US$ 833 juta per bulan. Hal itu dipengaruhi tingginya harga CPO internasional pada tahun 2010. Pada tahun lalu, produksi CPO Indonesia mencapai 21 juta ton.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (US Department of Agriculture/USDA) memperkirakan, ekspor CPO Indonesia tahun ini bisa mencapai 19,35 juta ton. Angka itu naik dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 17,85 juta ton. Sedangkan produksi CPO Indonesia akan mencapai 25,4 juta ton pada 2011. Angka itu lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya sebesar 23,6 juta ton.
Jika proyeksi itu dipadukan dengan capaian ekspor CPO Indonesia pada 2010, tidak berlebihan apabila nilai ekspor CPO Indonesia pada 2011 akan menembus US$ 20,2 miliar atau setara Rp 180 triliun. Terlebih lagi, harga CPO sepanjang empat bulan pertama 2011 dalam tren meningkat. Harga CPO dunia kembali naik, setelah sempat melandai pada Maret 2011.
Harga CPO di bursa Chicago Mercantile Exchange (CME) untuk pengiriman Juni 2011 berada di level US$ 1.140 per ton, naik 5,6% dibanding minggu kedua Maret 2011 yang masih bertengger di level US$ 1.079 per ton. Peningkatan harga CPO di bursa global terjadi seiring dengan tingginya harga minyak dunia yang saat ini sudah melebihi US$ 112 per barel.
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, luas areal kelapa sawit di Indonesia hingga 2009 mencapai 7,32 juta hektare meningkat 11,8% per tahun sejak 1980 yang baru mencapai 290 ribu hektare. Biaya produksi minyak sawit juga menjadi yang termurah dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti soyabean oil, rapeseed oil, sunflower oil.
Data Oil World menyebutkan, untuk memproduksi 4,2 ton minyak sawit mentah dibutuhkan biaya produksi US$ 250. Sedangkan untuk memproduksi satu ton rapeseed oil, dibutuhkan biaya produksi US$ 375. Biaya produksi soyabean oil dan sunflower oil lebih tinggi lagi.
Indonesia dan Malaysia menguasai 86% produksi CPO dunia. Indonesia menguasai 44,5% produksi CPO dunia, sedangkan Malaysia 41,3%.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengakui, terjadi peningkatan tajam ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia pada 2010. Namun, nilai devisa ekspor per bulan berfluktuasi, dengan tren meningkat sejak kuartal I hingga kuartal IV 2010.
“Di kuartal I 2010, nilai ekspor CPO sebesar US$ 2,66 miliar. Angka itu meningkat menjadi US$ 3,04 miliar di kuartal II. Di kuartal III, nilai ekspor sudah mencapai US$ 4,46 miliar dan makin melonjak tajam menjadi US$ 6,32 miliar di kuartal IV 2010,” tutur Fadhil.(Tim redaksi 02)