Duniaindustri.com (November 2015) – PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO), emiten peritel telpon seluler, menyatakan kesulitan membayar surat utang (obligasi) yang dirilis di Singapura senilai Sin$ 215 juta (US$153 juta). Perseroan menyatakan sulit untuk menerbitkan saham baru atau menjual aset demi memenuhi kewajiban itu.
Trikomsel, yang 19,9% sahamnya dimiliki perusahaan Jepang, SoftBank Group Corp (Jepang), bulan lalu mengungkapkan bahwa lebih dari 80% dari total utang yang sebesar US$ 460 juta — termasuk obligasi dalam dolar Singapura tersebut — akan jatuh tempo dalam dua bulan ke depan.
“Terkait situasi (pasar) saat ini, perusahaan menerima masukan bahwa tidak mungkin mendapatkan bunga pasar yang pantas untuk menerbitkan saham sebesar yang diperlukan untuk bisa memenuhi kewajiban utang saat jatuh tempo,” demikian pernyataan Trikomsel seperti dilansir Reuters, Jumat (6/11).
Di lain sisi, perusahaan juga tidak memiliki aktiva tetap non-esensial yang dapat dijual untuk secara substansial mengurangi utang tanpa mempengaruhi operasi perusahaan.
Dalam dua pekan ke depan, Trikomsel ingin membentuk sebuah komite pengarah atau sekelompok wakil ke pemegang obligasi di Singapura untuk upaya merestrukturisasi utang.
Trikomsel, yang terpukul oleh penurunan penjualan telepon seluler dan anjloknya nilai tukar rupiah, sebelumnya menyatakan “tidak dalam posisi” untuk membayar bunga dari obligasi Singapura itu.
Sebelumnya, Standard & Poor (S&P), lembaga pemeringkat utang global, mengingatkan sejumlah perusahaan Indonesia berpotensi mengalami gagal bayar utang (default), setelah peritel PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO) bersiap bertemu dengan kreditur untuk merestrukturisasi utang sekitar US$ 155 juta. Situasi global, penurunan harga komoditas, depresiasi rupiah, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di titik terlemah enam tahun, menyatu menjadi “badai sempurna” bagi perusahaan Indonesia.
Trikomsel menyatakan kemungkinan merestrukturisasi obligasi yang sudah beredar senilai Sin$ 215 juta, yang oleh S&P dikatakan sebagai yang pertama kali terjadi di pasar obligasi Singapura sejak krisis finansial global belakangan ini.
Menurut Trikomsel, yang 19,9% sahamnya dimiliki perusahaan Jepang, SoftBank Group Corp, restrukturisasi utang diperlukan karena depresiasi rupiah terhadap dolar AS dan perlambatan ekonomi Indonesia telah mengakibatkan “penurunan pendapatan dan mengurangi arus kas secara signifikan”.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan Jumat (16/10), S&P menyatakan bahwa sejumlah perusahaan di Indonesia juga menghadapi penurunan neraca pada saat melambatnya pertumbuhan, yang dapat memicu default tambahan atau permintaan retrukturisasi utang dalam 12-18 bulan ke depan.
“Kasus gagal bayar di pasar obligasi korporasi dalam mata uang Singapura sangat langka, investor akan mengamati tajam proses (potensi) restrukturisasi utang Trikomsel,” papar analis S&P, Xavier Jean, seperti dilansir Reuters.com.
Beberapa perusahaan Indonesia saat ini tengah bergulat dengan utang, di saat pertumbuhan ekonomi berada di titik terlemah enam tahun, tingkat pengangguran meningkat, dan daya beli masyarakat berkurang. Di pihak lain, harga komoditas andalan Indonesia terus anjlok, sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah memburuk menjadi mata uang emerging Asia dengan kinerja terburuk setelah ringgit. Hal ini makin memperberat perusahaan Indonesia membayar utang dalam dolar AS.
Bagi sejumlah perusahaan yang masih memiliki potensi arus kas, lindung nilai (hedging) menjadi pilihan. Misalnya yang dilakukan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), yang berencana melakukan lindung nilai terhadap 20% utang dalam dolar AS.
“Kami memperkirakan akan terjadi lagi permintaan restrukturisasi utang (dari perusahaan Indonesia) dan penjualan aset bisa terjadi di Indonesia,” kata Jacqueline Chan, dari mitra firma hukum Milbank yang berbasis di Singapura, Tweed, Hadley & McCloy. “Ini adalah badai yang sempurna dari sejumlah faktor dalam waktu bersamaan, baik lokal maupun global.” Tapi, tambah Chan, dirinya tak berpikir situasi sulit itu berlangsung selamanya.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: