Duniaindustri.com (Juli 2018) – Pemerintah berencana mencabut kewajiban memasok batubara dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, wacana pencabutan tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam negeri serta menopang ekspor.
“Jadi itu (Ratas dengan Presiden) membicarakan mendorong produksi dan ekspor batubara. Dalam rangka itu, ada yang untuk mendorong ada ya kalau selama ini kan ada DMO ya kan, nah DMO nya (dihapus) untuk itu nanti,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Meskipun begitu, Darmin belum bisa menyebutkan apa saja yang akan dihapus. Apakah hanya kebijakan kewajiban pasokan batubara dalam negerinya saja atau juga bersama dengan harganya juga. “Nah tapi saya tidak tahu apakah termasuk untuk yang lama itu (harga) yang baru yang ini, saya datang sudah yang baru yang dibicarakan. Tapi ya tentu ada juga nanti yang diminta,” ucapnya.
Darmin juga enggan menyamakan penghapusan DMO ini akankah sama dengan BLU BPDP Sawit. Namun yang pasti, nantinya akan ada tim khusus yang akan mengurusi hal tersebut dari mulai iurannya dan segala macamnya. “Saya tidak bisa bilang kayak BPDP sawit atau tidak, tapi akan ada lembaga baru untuk itu,” ucapnya.
Darmin juga mengaku jika pemerintah tidak akan memberikan insentif lagi untuk mendorong produksi batu bara dalam negeri. Justru menurutnya, penghapusan ini bertujuan agar pengusaha bisa mandiri dan berpikir bagaimana meningkatkan produksinya. “Enggak itu bukan urusan insentif-insentifan, masa insentif lagi. Itu mestinya bagian dari kesadaran bernegara,” ucapnya.
Selain berencana menghapuskan kebijakan DMO, Darmin juga menyebut saat ini pemerintah tengah berusaha untuk menarik devisa yang berasal dari ekspor khususnya pada dua komoditi andalan seperti sawit dan batu bara.
“Yang lain yang dibicarakan adalah ada usulan supaya kami dengan BI akan bicara dengan pengusaha-pengusaha batu bara, kelapa sawit, lanjutan di Bogor kemarin untuk mengefektifkan memasukan devisa ekspor mereka. Karena bisa jadi alasan itu kewajiban tempat mereka meminjam sehingga harus buka rekening di sana tapi kan bisa dipasangkan di cabang bank itu di sini,” jelasnya.
Kehilangan Pendapatan
Sebelumnya, 15 perusahaan batubara nasional hadir dalam rapat dengan pendapat umum (RDPU) dengan Komisi VII DPR RI. 15 perusahaan tersebut berpotensi kehilangan keuntungan pendapatan tahun ini.
Hal ini dikarenakan dampak dari peraturan pemerintah tentang batasan harga batu bara untuk kewajiban pasar domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) bagi pembangkit listrik yang ditetapkan 12 Maret 2018 lalu.
Adapun perusahaan yang hadir PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Kaltim Primacoal, PT Kideco Jaya Agung, PT Indominco Mandiri, PT Antang Gunung Maratus, PT Borneo Indobara, PT Insani Bara Perkasa, PT Mahakam Sumber Jaya, PT Mandiri Inti Perkasa, PT Pesona Katulistiwa Nusantara, PT Trubaindo Coal Mining, PT Bukit Asam, dan PT Bumi Rantau Energi.
Kelima belas perusahaan tersebut memang menyatakan berkomitmen untuk memenuhi aturan tersebut, dimana penjualan batu bara 25% untuk domestik dari rencana penjualan produksi batubara 2018. Serta penetapan harga batubara untuk domestik sebesar US$ 70 per metrik ton.
Kendati demikian, mereka mengakui perusahaan kehilangan pendapatan yang cukup besar. Seperti yang dialami PT Arutmin Indonesia, perusahaan kehilangan pendapatan US$ 67,8 juta atau sekitar Rp920 miliar.
“Di tahun 2018 ini penurunan pendapatan kami sekitar US$ 67,8 juta atau sekitar Rp920 miliar sejak peraturan ini diberlakukan 12 Maret lalu,” ujar Direktur Utama PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat dalam RDPU di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Sementara itu, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Kurnia Ariawan mengatakan, di 2018 produksi Kideco sebesar 32 juta ton. Dengan aturan tersebut perusahaan mengalami kehilangan pendapatan hingga Rp1,1 triliun. “Perhitungan kami terhadap penetapan harga USD 70 dollar per ton, impact-nya ke penjualan Kideco itu Rp1,1 triliun tahun ini,” ujar Kurnia.
Senada, Direktur PT Kaltim Prima Coal Eddie J. Soebari menyatakan potensi kehilangan pendapatan perusahaan sebesar Rp2,5 triliun. Ini berdasarkan 25% produksi atau sekitar atau sekitar 12,7 juta ton tahun ini akan disetorkan perusahaan ke PLN.
“Sama dengan kawan-kawan lain, kami akan ikuti ketentuan DMO itu. Dengan dibandingkan harga batu bara sebesar USD70 per metrik ton, ada potensi kehilangan pendapatan Rp2,5 triliun,” sebutnya.
Eddie menyebutkan potensi kehilangan sebesar Rp2,5 triliun tersebut hanya sebesar 4% dari total pendapatan perusahaan di 2018.
Sementara itu, PT Adaro Indonesia juga mengaku perusahaan akan kehilangan pendapatan akibat aturan ini. “Dari sisi market memang terjadi gap, ini yang kita lakukan mitigasi risiko. Untuk 2018, kita lakukan upaya-upaya efisiensi, sehingga untuk DMO 25% paling tidak kita bisa penuhi apa yang ditetapkan pemerintah,” jelas Direktur Pemasaran PT Adaro Indonesia, Henri Tamrin.
Adapun, PT Berau Coal mengaku kehilangan pendapatan mencapai USD70 juta di 2018, sedangkan PT Trubaindo Coal Mining mengaku kehilangan pendapatan sekitar USD22 juta di tahun ini.(*/berbagai sumber/tim redaksi 06)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: