Duniaindustri.com (Juli 2014) – Produsen benang di dalam negeri meminta Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) segera menerbitkan final determination atas kasus dumping benang filament. Selanjutnya, pemerintah diharapkan segera menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) atas impor benang filament tersebut.
Seperti diketahui, KADI melakukan investigasi atas dugaan dumping tiga jenis benang filamen impor. Yakni, spin drawn yarn (SDY), drawn textured yarn (DTY), dan partially oriented yarn (POY). Ketua KADI Ernawati mengatakan, pihaknya melakukan penyelidikan karena adanya petisi dari industri dalam negeri yang disertai bukti awal yang bisa diterima. Yakni, adanya dumping, kerugian, dan
causal.
Menurut Ernawati, pihaknya masih dalam proses investigasi, belum ada keputusan apa pun. KADI, kata dia, telah menerbitkan laporan essential fact dan meminta tanggapan dari pihak berkepentingan.
“Melalui investigasinya, KADI menemukan bukti-bukti bahwa perusahaan eksportir di negara asal melakukan dumping. KADI juga menemukan bukti-bukti bahwa industri di dalam negeri mengalami injury. Sebagai akibat dari praktik dumping yang dilakukan barang impor. Artinya, ada causal link,” kata Sekjen Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) Redma G Wirawasta di Jakarta, Kamis (3/7).
Redma menuturkan, petisioner mengajukan pengenaan BMAD atas impor benang filamen dari Tiongkok, Korea Selatan, Malaysia, India, dan Thailand pada Agustus 2013. Yakni, oleh empat perusahaan petisioner, yakni PT Indorama Synthetics Tbk, PT Indorama Venture Indonesia, PT Indorama Polyester Industries Indonesia, dan PT Asia Pacific Fibers Tbk. Menurut dia, petisi tersebut didukung oleh 8 perusahaan benang lainnya.
“Sebelumnya ada kekhawatiran soal pasokan dalam negeri dan harga kalau BMAD diterapkan. Kami tegaskan, pengenaan BMAD tidak akan mempengaruhi harga jual produk dalam negeri. Terlalu berlebihan kalau dikhawatirkan seperti itu. Kalau soal pasokan. Saat ini, utilisasi perusahaan dalam negeri masih di bawah 80%. Kalau impor dumping tidak masuk, tentu produksi bisa dipacu hingga 100% dan memenuhi kebutuhan,” tutur Redma.
Dia memaparkan, impor benang filamen SDY, DTY, dan POY sejak 2010-2013 terus meningkat. Menurut dia, saat ini, produksi di negara-negara pengekspor berlebih sehingga harus diekspor ke negara yang memiliki serapan. Pasalnya, kata dia, industri hulu di negara-negara tersebut berkembang pesat, namun tidak diikuti sektor hilir.
“WTO menerbitkan aturan anti dumping untuk menghindari jangan sampai ada praktir perdagangan tidak fair. Jadi, BMAD bukan untuk memproteksi produsen benang di dalam negeri. Tapi, supaya barang impor yang masuk sini menjual barangnya dengan harga yang fair. Kalau tidak sekarang diterapkan, suatu saat industri hulu di dalam negeri tidak lagi sanggup memproduksi, hingga akhirnya mati,” kata Redma.
Vice President Marketing PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) Sanjay Patni mengatakan, praktik perdagangan tidak fair seperti dumping akan mengganggu industri dan lapangan kerja di Indonesia.
“Negara-negara tersebut dalam 5 tahun ini memacu industri polyesternya. Tapi, tidak hilirnya. Utilisasi mereka hanya 60-65%, berarti sangat berat untuk menjual kalau sampai 100%. Akibatnya, produksi dibuang ke sini dan dijual dengan dumping. Kalau seperti India yang memberikan insentif buat eksportirnya, tentu tidak masalah jual dumping. Karena akan terganti dengan insentif itu. Ini yang kami tidak mau karena tidak fair. Bukan karena mau cari untung,” kata Sanjay.
Selain itu, kata dia, Indonesia harus mewaspadai jika negara-negara pengekspor tersebut mulai membangun industri hilirnya.
“Ketika industri hilirnya sudah kuat, produsen-produsen hulu itu tentu akan menghentikan ekspornya. Akibatnya, industri hilir di sini tidak lagi bisa membeli ke mereka. Sementara, industri hulu di sini sudah terlanjur tertekan karena dumping tadi. Akibatnya, industri di Indonesia tidak maju-maju,” kata Sanjay.
Vice President PT Indorama Synthetics Tbk (INDR) Adya Sudhir mengatakan, pihaknya tidak meminta proteksi dari pemerintah. Sementara itu, kata dia, ekspor TPT Indonesia hanya bisa naik 2 kali lipat dalam 20 tahun. Dari seharusnya, bisa naik 5 kali lipat.
“Kami hanya meminta bantuan dari pemerintah untuk menghadapi praktik tidak fair seperti ini. Kalau dibiarkan terus, industri hulu Indonesia akan mati,” kata Adya.
Adya mengatakan, dalam pengajuannya, meminta BMAD yang dikenakan sekitar 15-20%. “Dalam temuan KADI, BMAD-nya bisa 0-20%. Semakin tidak koperatif, semakin tinggi BMAD yang dikenakan. Kami akan tetap menghormati keputusan KADI, berapa pun yang akan diterapkan,” kata Adya.(*)