Duniaindustri.com (Juni 2016) – Pangsa pasar industri rokok berpotensi turun 1%-2% pada tahun ini sebagai dampak kenaikan cukai rokok sebesar 15 persen berdasarkan perhitungan rata-rata tertimbang (weighted average) dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok menjadi 8,7 persen.
“Kami khawatir tambahan kenaikan tarif cukai atau PPN rokok dapat menyebabkan tekanan yang lebih dalam bagi industri (pangsa pasar industri rokok) serta menimbulkan dampak yang tidak baik bagi pekerja di segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang saat ini memperkerjakan ratusan ribu karyawan dalam proses produksinya,” tutur Presiden Direktur Sampoerna Paul Janelle.
Menurut Janelle, kondisi perekonomian tahun ini masih lemah. Kendati Sampoerna masih mampu menguasai pangsa pasar industri rokok Indonesia sebesar 34,1 persen, kinerja industri rokok nasional sepanjang kuartal pertama 2016 mengalami penurunan sebesar 5,9 persen.
Janelle berharap pemerintah bisa menerapkan kebijakan cukai yang adil, bisa diprediksi, serta memberikan kepastian usaha dalam rangka melindungi usaha dalam negeri, baik untuk petani maupun industri secara umum.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.10/2015 yang diteken Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro pada 6 November 2015 Tentang Perubahan Kedua PMK 179/PMK.011/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, kenaikan tarif cukai rokok terbesar ada pada rokok sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih sebesar 12,96-16,47 persen, kemudian rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 11,48-15,66 persen, dan sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 0-12 persen.
Naiknya tarif cukai rokok tersebut diharapkan dapat memenuhi target penerimaan negara dari cukai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang dipatok sebesar Rp 146,4 triliun.
Rencana Cukai 2017
Pemerintah kembali berencana untuk menaikkan target penerimaan cukai, seperti tertulis dalam nota keuangan RAPBNP 2016 sebanyak Rp 1,6 triliun menjadi Rp 148.091,2 triliun. Dari perubahan target RAPBNP 2016 ini, penerimaan cukai rokok dipatok sebesar Rp 141,7 triliun, atau Rp 1,9 triliun lebih tinggi dari target APBN 2016 sebesar Rp 139,8 triliun.
Menurut Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Sugeng Aprianto, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memang mengusulkan untuk ada kenaikan target untuk cukai rokok. Hal ini didasari optimisme Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bahwa akan ada lonjakan penerimaan cukai rokok di akhir tahun lantaran akan ada kenaikan tarif di tahun 2017. “Targetnya memang diusulkan naik, tapi tarifnya tetap. Kami harap ada lonjakan pembelian pita cukai di akhir tahun supaya target tercapai, walaupun saat ini volume produksi turun 0,6% – 0,8% year-on-year,” papar Sugeng.
Walaupun Pemerintah mengusulkan kenaikan target dalam RAPBNP 2016, pencapaian setoran cukai per Mei 2016 masih di bawah target, hanya mencapai Rp28,2 triliun atau lebih rendah 35,7% dari pencapaian tahun lalu pada periode yang sama sebesar Rp43,9 triliun. Penurunan realisasi setoran cukai disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai untuk tahun 2016 sebesar 11,19%, mendorong pabrikan memborong cukai di akhir tahun.
Sebelum Pemerintah mengusulkan kenaikan target penerimaan cukai tembakau dalam RAPBNP 2016, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro sudah terlebih dahulu mengumumkan bahwa akan ada kenaikan tarif cukai untuk produk rokok di tahun 2017. Kenaikan tarif cukai ini, menurut Bambang, terkait dengan usaha mengurangi konsumsi rokok masyarakat.
Dimintai tanggapan terkait kenaikan target penerimaan cukai rokok dalam RAPBNP 2016, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Moehaimin Moefti mengatakan, “Industri sudah tidak mengalami pertumbuhan. Volume produksi Jan – Mei 2016 juga masih di bawah tahun lalu. Keputusan pemerintah untuk terus menaikkan tarif cukai, tahun lalu bahkan sebesar 15% secara rata-rata tertimbang, tentu saja berpengaruh pada kinerja industri terutama pangsa pasar industri rokok,” jelasnya.
Moefti juga menambahkan, “Kekhawatiran kami yang paling besar adalah kalau target baru ini nantinya dijadikan dasar penetapan target cukai 2017. Kalau target naik terlalu tinggi, pastinya Pemerintah akan mengerek tarif cukai semakin tinggi supaya target tercapai. Ini tentu saja akan makin menyulitkan industri dan menggerus pangsa pasar industri rokok. Seharusnya tidak perlu ada kenaikan target penerimaan cukai rokok di RAPBNP 2016 ini.”
Senada dengan pernyataan Moefti, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Hasan Aoni Aziz, adanya optimisme kenaikan di Januari sampai Mei 2016 harus disikapi bijak. Jangan sampai kenaikan ini mengubah tarif. “Ini justru yang akan berbahaya,” jelasnya. Bila kenaikan tarif dilakukan oleh pemerintah, akan terjadi penurunan daya beli. Akibatnya industri akan terkena dampaknya. “Semua tentu sudah tahu kalau industri kena imbas, banyak yang akan dirugikan,” katanya.
Untuk itu Hasan mewanti-wanti agar melihat masalah kenaikan cukai ini dengan jernih. Industri harus dilihat sebagai bagian utama yang terkena dampak dari kebijakan tersebut. “Walaupun katanya kenaikan target tidak akan mengubah tarif cukai tahun ini, target ini tentu akan jadi acuan kebijakan tahun depan. Jangan cuma melihat tahun ini saja, tapi perlu dipikirkan secara matang keberlanjutan kebijakan cukai ke depannya,” jelas Hasan. Pembahasan RAPBNP 2016 akan berlangsung di Badan Anggaran DPR RI. Meskipun Nota Keuangan RAPBNP 2016 sudah keluar, belum ada jadwal pasti kapan DPR dan Pemerintah akan membahas hal ini.
Mengenai usulan pemerintah tentang kenaikan target penerimaan cukai rokok di RAPBNP 2016, Anggota Komisi XI DPR RI Willgo Zainar mengatakan, target penerimaan mengalami Shortfall maka pemerintah mencoba mencari solusi tercepat sebagai bantal fiscal 2016 lewat beberapa program, salah satunya Tax Amnesty yang salah satunya di bahas bersama di DPR saat ini. “Tujuannya diharapkn Rp165 triliun masuk ke pendapatan negara. Selain itu juga rencana menaikkan cukai rokok Rp1,9 triliun,” katanya.
Wilgo menambahkan, dari sisi pendapatan negara tentu sah-sah saja bagi negara untuk menjaring pajak dan cukai sebanyak banyak dari WP perusahaan maupun perorangan. Namun begitu, untuk rencana kenaikan cukai rokok sekitar Rp1,9 triliun ini perlu dikaji lebih komprehensif. Apakah akan berdampak pada tenaga kerja, pertumbuhan, dan cukai itu sendiri. Karena filosofi cukai adalah pembatasan bukan pendapatan. “Saya kira hal tersebut perlu menjadi bahan pertimbangan, agar jangan sampai kebijakan di bidang perpajakan dan cukai ini menjadi crowding out pada perekonomian kita yang masih dalam kondisi belum baik dan stabil,” tutupnya.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: