Duniaindustri.com (Agustus 2018) – Pemerintah berencana menyederhanakan lapisan tarif cukai rokok yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Tembakau. Untuk tahun ini, lapisan tarif cukai rokok berjumlah 10 bagian. Sedangkan dari 2019 sampai 2021 nanti, tarif cukai rokok disederhanakan setiap tahunnya menjadi 8 lapis, 6 lapis, dan 5 lapis.
Direktorat Jenderal Bea Cukai menyatakan kebijakan penyederhanaan layer tarif cukai dilakukan untuk menciptakan keadilan di industri rokok. “Semakin detail karena pengusaha dari gurem sampai raksasa harus ada keadilan. Semakin banyak itu jadi rumit, makanya butuh penyederhanaan,” kata Pelaksana tugas Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Dirjen Bea Cukai Nugroho Wahyu Widodo.
Menurut dia, dengan kebijakan ini, pemerintah ingin menghilangkan potensi kecurangan di industri rokok. Pihaknya menemukan indikasi pabrikan besar di lapisan atas justru membayar tarif cukai di lapisan bawah. “Ada indikasi yang gede masuk ke yang kecil, tapi tidak semuanya. Jadi memang perlu diatur proporsi masing-masing untuk keadilan,” ujar Nugroho.
Senada, Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan mendukung rencana tersebut. Apalagi, sistem tarif cukai di Indonesia dinilai terlalu rumit sebelum ada kebijakan simplifikasi. “Semakin sederhana kebijakan, semakin baik dan mudah diimplementasikan,” katanya.
Abdillah melanjutkan banyak layer tarif menciptakan persaingan tidak sehat di industri rokok. “Sistem yang rumit seperti memproteksi bagi pengusaha rokok yang satu dan menekan pengusaha lainnya,” ujarnya.
Kalangan anggota DPR juga meminta pemerintah mempercepat penyederhanaan penggolongan tarif cukai rokok menjadi lima lapis pada 2019 mendatang. Dengan percepatan tersebut diharapkan semakin menciptakan keadilan di industri rokok nasional.
“Menurut saya lebih cepat lebih bagus, karena target lima layer di tahun 2021. Kalau bisa di 2019 atau 2020 sudah lima layer. Ini untuk faktor keadilan,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI Amir Uskara.
Sebelum adanya kebijakan pemangkasan layer tarif cukai rokok, lanjut Amir, banyak pabrikan yang berbuat curang. “Kadang yang produksi 3 miliar per batang dikurangi jadi 2,9 miliar per batang supaya tidak kena. Karena itu, dari dulu kami minta Kementerian Keuangan untuk meminimalisasi,” ungkap dia.
Kebijakan Kontraproduktif
Namun, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) justru menilai kebijakan penyederhanaan layer tarif cukai rokok merupakan kebijakan yang kontraproduktif. Sebab kebijakan tersebut akan menjadi ancaman bagi eksistensi industri kretek nasional.
“Regulasi mengenai cukai merupakan instrumen bagi kepentingan pengendalian tembakau di Indonesia. Terlihat dari adanya indikator pengendalian konsumsi rokok pada regulasi cukai,” kata koordinator KNPK, Azami Mohammad dalam siaran pers.
Menurutnya, cukai tak hanya dilihat sebagai instrumen pendapatan negara, tetapi juga ada indikator pengendalian konsumsi rokok di dalamnya. “Cukai merupakan instrumen dari pengendalian tembakau. Lihat saja jika ada kebijakan kenaikan tarif cukai, pasti ada pertimbangan pengendalian konsumsi, selain tentunya kepentingan pendapatan negara,” ujarnya.
Azami menambahkan, kebijakan mengenai cukai rokok jika memang murni untuk kepentingan pendapatan negara, maka seharusnya kebijakan cukai tidak menjadi beban bagi industri kretek. Pasalnya, konsumen (perokok) terus-menerus dikenakan kenaikan harga atas kebijakan cukai yang naik setiap tahunnya.
Di lain sisi, konsumen sedang berada dalam kondisi daya beli yang cenderung menurun. Hal ini berdampak pada lesunya industri sehingga negara memiliki potensi lost pendapatan yang besar hingga ratusan triliun rupiah.
“Faktanya cukai justru membebankan industri kretek. Kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi setiap tahunnya mengakibatkan industri mengalami penurunan produksi dan banyak pabrikan kretek yang gulung tikar, sekarang saja hanya tinggal 100 pabrikan yang masih berjalan produksi,” tambahnya.(*/berbagai sumber/tim redaksi 05)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: