Duniandustri.com (Juni 2014) – Mayoritas masyarakat memandang perlu adanya aturan di jalan raya agar lalu lintas jalan menjadi lebih aman dan selamat. Survey yang digelar Road Safety Association (RSA) Indonesia menyebutkan bahwa 97,04% masyarakat merasa perlu adanya aturan. Di sisi lain, survey yang dilakukan pada 2014 itu juga menyebutkan bahwa hanya 47,51% warga yang mengaku tahu tentang aturan yang berlaku saat ini.
Pemberlakuan aturan dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan lalu lintas jalan yang aman, nyaman, dan selamat. Lihat saja, sebanyak 51,87% masyarakat berpendapat bahwa keselamatan jalan itu adalah taat aturan dan tidak tabrakan. Persepsi ini cukup relevan jika melihat fakta data Korlantas Mabes Polri tahun 2013 yang menyebutkan mayoritas pemicu kecelakaan, yakni 42% adalah perilaku tidak tertib. Perilaku seperti ini bisa disimpulkan sebagai tindakan melanggar aturan demi kepentingan diri sendiri. Ironisnya, berujung tabrakan.
Secara teori, jika peraturan ditegakkan dengan tegas, konsisten, kredibel, transparan, dan tidak pandang bulu, memungkinkan menyusutnya pelanggaran atas aturan. Pada gilirannya, merujuk pada data yang ada, bila pelanggaran berkurang, peluang terjadinya kecelakaan juga bisa mengecil. Fakta memperlihatkan, saat ini, setiap hari terjadi 270-an kecelakaan yang merenggut 70-an jiwa per hari.
“Hasil survey kami juga memperlihatkan bahwa sebanyak 84,58% masyarakat menganggap penegakan hukum di jalan masih belum tegas dan konsisten,” ujar Edo Rusyanto, ketua umum RSA Indonesia, di Jakarta, Minggu (29/6).
Hanya sebanyak 12,93% yang merasa penegakan hukum sudah tegas dan konsisten. Selebihnya mengaku tidak peduli, tidak tahu, dan memilih tidak menjawab, yakni 2,49%.
Persepsi publik soal polisi lalu lintas yang mesti diprioritaskan untuk dipatuhi di jalan juga amat minim, yaitu 24,92%. Survey memperlihatkan, masyarakat menganggap rambu lalu lintas yang lebih dipatuhi (72,43%) sekalipun saat itu ada polisi, petugas dinas perhubungan, dan rambu lalu lintas.
Persepsi ini bisa jadi memperlihatkan rendahnya pengetahuan publik tentang diskresi polisi lalu lintas. “Tak heran ketika menemui instruksi polisi untuk maju hingga melibas zebra cross, esok harinya ketika tidak ada instruksi polantas, masyarakat mendiskresikan dirinya sendiri. Memprihatinkan,” kata Edo Rusyanto.
Bahkan, bisa saja persepsi tersebut mencuat karena degradasi rasa hormat dan patuh terhadap petugas. Atau, kondisi yang paling buruk, sikap menghargai aturan dan petugas menyusut demi kepentingan diri sendiri dan tidak menyesal melanggar aturan sebelum merasa dirugikan atas tindakannya tersebut.
Logika berkendara atau berlalu lintas jalan seperti itu memang memprihatinkan. Temuan RSA Indonesia memperlihatkan, logika pengendara soal marka dan rambu juga memilukan. Saat ditanyakan apa fungsi marka garis utuh melintang hanya 16,04% masyarakat yang menjawab benar, yakni sebagai batas perhentian. Temuan di lapangan juga memperlihatkan bahwa persepsi publik soal garis melintang adalah garis membujur yang melarang pengendara berpindah lajur sebanyak 23,83%. Logika tentang melintang dan membujur masih rancu. Tak heran jika di pertigaan atau di perempatan jalan dengan mudah kita melihat para pengguna jalan yang merangsek ke depan hingga mengangkangi garis setop dan zebra cross. Persoalan yang lebih serius, ketika logika berkendara rancu bisa mendorong pelanggaran terhadap aturan yang berujung kecelakaan.
Khusus pertanyaan tentang surat izin mengemudi (SIM) bagi pesepeda motor, yakni SIM C, sebanyak 93,77% responden menjawab secara benar. Sedangkan selebihnya menjawab keliru 4,83% dan tidak menjawab 1,40%.
Masih soal bersepeda motor, ketika ditanyakan tentang pemakaian helm pelindung kepala, sebanyak 87,85% menjawab secara lengkap. Selebihnya menjawab parsial seperti pengendara wajib memakai helm (6,70%), helm harus sesuai SNI (3,12%), dan penumpang wajib memakai helm (0,62%). Sedangkan yang memilih tidak menjawab sebanyak 1,71%.
Pemahaman Teknis
Mayoritas responden memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknis berkendara, terutama aspek teknis yang berpotensi memicu terjadinya kecelakaan di jalan. Saat ditanyakan mengenai cara mendahului, mayoritas menjawab dengan benar, yakni sebanyak 54,52%. Sedangkan sebanyak 44,70% menjawab keliru dan 0,78% tidak menjawab.
“Cara mendahului yang benar bisa mengurangi potensi terjadi kecelakaan lalu lintas jalan. Salah satu aspek penting soal ini adalah memastikan pergerakan kendaraan dari arah berlawanan tidak akan mengganggu proses mendahului,” ujar Lucky Subiakto, sekretaris jenderal RSA Indonesia, Minggu.
Begitu juga pemahaman responden soal berbelok yang aman dan selamat. Hal itu terbukti dengan sebesar 72,90% responden menjawab dengan benar atas pertanyaan yang diajukan. Sebanyak 23,36% menjawab pertanyaan secara tidak tepat dan sebanyak 3,74% memilih untuk tidak menjawab.
Hal itu diperkuat dengan pengetahuan responden yang mayoritas, yakni 51,40% mengetahui hal-hal yang membahayakan saat berbelok. Sebanyak 44,70% responden tidak mengetahui hal yang membahayakan dan sebanyak 3,89% tidak menjawab.
Sementara itu, kata Lucky, pemahaman responden soal cara mengerem yang aman dan benar justeru sebaliknya. Sebagian besar, yaitu 52,96% menjawab keliru atas pertanyaan yang diajukan. Hanya 43,93% yang menjawab dengan benar dan sebanyak 3,12% memilih untuk tidak menjawab.
Para responden cukup faham mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan saat menyeberang jalan. Sebanyak 79,91% responden menjawab secara lengkap soal langkah-langkah menyeberang. Selebihnya, yakni 18,69% menjawab hanya sebagian dari langkah yang diperlukan saat menyeberang, seperti menyeberang di zebra cross, memperhatikan lalu lintas jalan, dan memberi isyarat tangan. Sedangkan hanya sebagian kecil, yakni 1,40% yang tidak menjawab pertanyaan.
Profil Responden
Survey yang digelar sepanjang Januari-Mei 2014 itu memperlihatkan bahwa 49,69% masyarakat pernah terlibat kecelakaan lalu lintas jalan. Sedangkan yang menjawab belum pernah terlibat sebesar 19,94%. Di luar itu mereka menjawab tidak ingin celaka (29,13%), tidak peduli (0,47%), dan tidak menjawab (0,78%).
Mayoritas responden menggunakan kendaraan pribadi yang terdiri atas sepeda motor (70,01%) dan mobil pribadi (14,35%). Selebihnya memanfaatkan angkutan umum, yakni angkutan kota, bus, dan kereta (15,64%).
Responden mengaku memiliki surat izin mengemudi (SIM) untuk sepeda motor, SIM C sebanyak 52,14%. Untuk SIM roda empat atau lebih sebanyak 29,99%. Sedangkan yang tidak memiliki SIM sebanyak 17,87%.
Responden survey sebanyak 642 pengguna jalan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Mayoritas responden, yakni 52,02% berasal dari Jakarta dan 10,59% dari Bekasi. Selain itu, Depok (9,66%), Sukabumi (4,36%), Bogor (4,21%), Tangerang Selatan (4,05%), Cianjur (3,89%), Tangerang (3,12%), Subang (2,18%), Palembang (1,71%), dan lain-lain (4,21%).
Profesi responden beragam yang mencakup 66,51% adalah karyawan swasta dan 15,42% kalangan mahasiswa. Selain itu, sebanyak 10,90% merupakan buruh pabrik dan selebihnya dari kalangan profesional dan wirausaha sebesar 7,16%.
Dari segi gender, sebanyak 73,52% responden berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 26,48% perempuan. Sedangkan dari usia, rentang 15-20 tahun (20,09%), 21-25 tahun (24,77%), dan 26-30 tahun (21,50%). Selain itu, 31-35 tahun (14,95%), 36-40 tahun (11,37%), dan di atas 40 tahun (7,32%).(*)