Duniaindustri.com – Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Setiadi menyatakan untuk meningkatkan daya saing secara internasional, Indonesia perlu lebih banyak membuat standar nasional produk-produk yang dihasilkannya.
“Tanpa langkah itu kita akan selalu kalah bersaing dengan negara lain. Sebagai contoh Pantai Gading negara kecil di negara Afrika ternyata hasil kakaonya lebih diakui dunia karena standard produknya yang baik,” kata Bambang Setiadi pada acara World Standard Daya (WSD) dan pencanangan Bulan Mutu Nasional 2011.
Dengan menerapkan Standard Nasional Indonesia(SNI) produk yang dihasilkan akan memiliki daya saing yang lebih tinggi. Pada akhirnya posisi Indonesia di mata internasional akan semakin diakui.
“Contohnya jika kita masuk ke cafe Starbuck di Jakarta atau Singapura maka rasanya akan sama karena mereka telah menerapkan standar tertentu,” tambahnya.
Menurut Bambang, saat ini pihaknya tengah menggodok standardisasi kakao bekerjasama dengan pemerintah Pantai Gading sehingga kelak petani Indonesia akan dapat meningkatkan penghasilannya.
Sementara untuk standardisasi tempe, BSN bekerjasama dengan Jerman. Sagu, saus cabe, dan durian, BSN menggandeng Thailand.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pemasyarakatan Standardisasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Tisyo Haryono mengatakan esensi penerapan standar nasional Indonesia (SNI) adalah melindungi kepentingan konsumen. Sebaliknya, penerapan SNI tak bertujuan menghalangi perdagangan.
“Karena bagaimana pun juga, dalam mekanisme perdagangan bebas terdapat kebebasan aliran barang. Pemerintah sebagai regulator, harus melindungi kepentingan rakyatnya,” jelasnya.
Menurutnya, perlindungan pada konsumen tersebut, sudah termaktup di dalam UU Perlindungan Konsumen (UU No 8/1999). Jiwa dari Undang-undang tersebut adalah pengakuan resmi terhadap hak konsumen, mempunyai misi pada penguatan masyarakat sipil dan terdapatnya mekanisme ganti rugi.
Efektifitas SNI sebagai alat perlindungan konsumen dapat dilihat dari beberapa fungsinya. Pertama, SNI itu bersifat mandatory, sehingga wajib untuk dilaksanakan. “Jika sekadar voluntary, sulit untuk mengajak pelaku usaha melaksanakannya,” kata Haryono.
Kedua, cakupan SNI meliputi semua produk yang beredar di pasar. Ketiga, memastikan bahwa produk yang di pasar sudah sesuai dengan SNI, baik lokal maupun impor. Keempat, SNI memperhatikan kebutuhan khusus konsumen terutama anak.
Produk lokal dinilainya harus mampu bersaing dengan produk impor. Caranya dengan memberikan label standarisasi kepada produk lokal. Ia mengakui produksi dalam negeri banyak kendala, di antaranya faktor energi, pajak dan lain-lain. “Untuk mengatasi kendala tersebut, kita juga sudah bersinergi dengan Menko Perekonomian dengan memberi insentif kepada UMKM,” ujarnya.
Ia menambahkan, produsen di Indonesia telah banyak yang memahami pentingnya label SNI di produk mereka. Ini terlihat dari makin banyaknya peserta SNI Award yang digelar BSN. “Bahkan, salah satu penerima SNI Award, Wika Beton sudah menjadi acuan standar internasional,” tandas Dewi.(sds/tim redaksi 01)