Duniaindustri.com (Juni 2016) – Setelah meroket hingga 59% dalam lima bulan pertama 2016, harga baja global pada Juni tahun ini mulai tumbang, atau tepatnya terkoreksi 20,8% dibanding bulan sebelumnya. Menurut penelusuran data duniaindustri.com, harga baja global pada Juni 2016 bertengger di kisaran US$ 380-390 per ton, jauh terkoreksi dari bulan sebelumnya US$ 480-490 per ton.
Ekskpektasi berlebihan tentang perbaikan ekonomi global, sentimen suku bunga Amerika Serikat, dan fluktuasi harga minyak mentah ikut mempengaruhi pergerakan harga baja global.
Sebelumnya, harga baja global makin menggila setelah pada Mei 2016 diperdagangkan di kisaran US$ 480-490 per ton, atau meroket 59% dari titik terendah pada akhir tahun lalu di kisaran US$ 300-310 per ton. Secara tahunan (year on year), harga baja dunia pada Mei 2016 naik hingga 20% dibanding Mei 2015 di kisaran US$ 400-410 per ton, berdasarkan data duniaindustri.com.
Duniaindustri.com menilai kenaikan harga baja global lambat laun akan berdampak pada sektor infrastruktur, konstruksi, dan properti di Indonesia, mengingat ketiga sektor tersebut sangat menyerap pasokan baja secara besar. Jika ditelisik secara historikal, harga baja dunia telah membentuk titik keseimbangan baru, seiring titik terendah yang telah dilewati pada Desember 2015 di kisaran US$ 300-310 per ton.
Harga baja dunia pada Mei 2016 juga meningkat 15% dibanding April 2016 di kisaran US$ 415-425 per ton, mengindikasikan kelanjutan penguatan harga sejak akhir tahun lalu. Itu berarti dalam lima bulan terakhir, harga baja dunia telah meroket 59%, mengindikasikan proses rebound harga telah terbentuk secara lengkap. Hal itu terlihat dalam riset duniaindustri.com berdasarkan data Middle East Steel untuk harga baja dengan patokan HRC ukuran >=2 milimeter dari China.
Kenaikan harga baja dunia telah berlangsung sedikitnya lima bulan terakhir pada awal 2016, menandakan penguatan permintaan seiring pemulihan ekonomi global. Harga baja dunia telah melalui level terendah pada akhir 2015 di kisaran US$ 300-310 per ton, tepatnya pada Desember 2015. Setelah itu, harga baja dunia secara berangsung tapi pasti menunjukkan kenaikan.
Pada akhir 2015, harga baja dunia sempat bergejolak di tataran terendah sebelum akhirnya jatuh kembali pada Desember 2015. Pada November 2015, harga baja terutama HRC impor kembali turun ke level US$ 317 per ton, anjlok 12% dibanding September 2015 di posisi US$ 360 per ton. Menurut data duniaindustri.com yang dikompilasi dari beberapa produsen, harga baja HRC lokal dan HRC impor anjlok cukup dalam sejak awal 2015.
Titik Balik Baja Dunia
Pada Januari 2015, HRC impor berada di posisi US$ 553 per ton dan terus turun menjadi US$ 409 per ton pada Juli 2015, sebelum akhirnya turun hingga dasar pada Desember 2015. Sementara harga HRC lokal juga menunjukkan tren yang sama. Harga HRC lokal pada Januari 2015 berada di level Rp 7.350 per kilogram, dan kemudian turun hingga Rp 6.700 per kg pada Mei 2015, sebelum akhirnya turun lagi ke posisi Rp 5.700 per kilogram pada November 2015.
Penurunan harga HRC mempengaruhi harga produk hilir baja seperti pipa baja. Harga pipa baja pada Januari 2015 mencapai Rp 9.482 per kg dan turun terus menjadi Rp 8.126 per kg pada November 2015.
Harga baja dunia terus melemah seiring minimnya sentimen perbaikan harga komoditas di pasar internasional. Penurunan harga yang terus berlanjut masih disebabkan oleh rendahnya harga komoditas di pasar internasional, perbaikan ekonomi global yang belum signifikan, serta kelebihan pasokan baja di China sebagai produsen terbesar dunia. Sementara konsumsi baja global melambat seiring perlambatan perekonomian dunia.
Di China sendiri, perlambatan perekonomian negeri ini dalam lima tahun terakhir menjadi 7,4% pada 2014 telah memangkas konsumsi baja sebesar 6,62% menjadi 54,34 juta ton tahun lalu. Padahal, produksi baja China tetap tumbuh 1,52% menjadi 63,3 juta ton pada periode yang sama.
Dampaknya, China mengalami kelebihan pasokan sekitar 8,96 juta ton pada 2014, lebih tinggi dibanding posisi 2013 sebesar 4,16 juta ton. Kelebihan pasokan dari China itu kemudian diekspor dan berpotensi membanjiri pasar di Asia, terutama negara dengan aktivitas infrastruktur tinggi seperti Indonesia.(*/tim redaksi 02)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: