Duniaindustri.com (September 2015) – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah, tanpa bisa terbendung. Pada Selasa (29/9), rupiah sempat menyentuh level terendah baru di posisi Rp 14,828/US$, berdasarkan data Bloomberg.com.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS yang semakin dalam, selain akibat dari ketidakpastian Federal Reserve akan berlangsung lebih lama lagi, juga dinilai sebagai akibat dari kurang menariknya tingkat suku bunga acuan bank sentral Indonesia atau BI rate.
Kepala Ekonom PT Bank Woori Saudara Tbk, Rully Nova, menilai pelemahan rupiah yang cukup tajam ini memang dipengaruhi oleh kebutuhan dolar AS di September yang sangat besar guna membayar utang luar negeri yang relatif banyak.
“Terkait kebijakan BI, pelemahan rupiah ini perlu insentif, karena BI rate kurang menarik sekarang ini. Harusnya BI rate naik ya, karena ketidakpastian Fed berlangsung sampai akhir tahun. Jadi ini dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Tidak ada yang bisa menjamin bottom line rupiah,” kata Rully.
Ia menjelaskan, kebijakan moneter BI semuanya relatif sudah dilakukan sehingga satu-satunya instrumen moneter yang masih bisa digerakkan adalah suku bunga acuan. BI tidak perlu mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi karena memang yang dibutuhkan saat ini adalah stabilitas melalui nilai tukar rupiah.
“Jangka pendeknya memang BI harus guyur pasar dengan cadangan devisanya. Tapi untuk jangka menengah, BI rate perlu naik, harus lebih menarik, karena risiko eksternal tinggi. Karena bagaimanapun pilihan sementara ini haruslah stabilitas ekonomi, melalui stabilitas nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Ia menambahkan, dengan kenaikan 25 basis poin saja menjadi 7,75%, maka sudah akan bisa meyakinkan pelaku pasar bahwa rupiah akan stabil. “Ini peran BI, kalau tidak stabil, BI harusnya berani ambil kebijakan stabilitas. Seluruh kebijakan sudah dikeluarkan BI. Tinggal BI rate transaksi valas untuk stabilitas, karena risikonya masih tinggi,” jelas Rully.
Perusahaan Menjerit
Perusahaan-perusahaan makanan dan minuman mulai “menjerit” akibat pelemahan rupiah yang menekan laba (profitabilitas). Karena itu, perusahaan makanan akhirnya melakukan efisiensi secara meluas dengan mengatur margin laba.
“Jadi perusahaan makanan akhirnya mengefisienkan diri juga dengan me-manage margin. Kita melihat beberapa perusahaan makanan sudah teriak karena bottom line sudah mulai tergerus. Ini yang harus hati-hati. Memang sejauh ini saya belum dengar itu (banyak perusahaan makanan dan minuman yang tutup), tetapi pengurangan jam kerja sudah mulai terjadi,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman dalam dialog investasi bertema “Dampak Deregulasi terhadap Investasi” di kantor BKPM.
Adhi berharap kondisi pengurangan jam kerja dari industri makanan dan minuman tidak terus berlanjut. Karena, jika tidak, potensi bangkrutnya perusahaan makanan minuman juga semakin besar. Kondisi ini, hanya bisa dipertahankan oleh industri makanan minuman sampai akhir 2015, dan harapannya tahun depan sudah ada perubahan lebih baik lagi.
Menurut dia, pelemahan rupiah terhadap dolar AS sudah lampu kuning alias cukup memberatkan sektor industri tersebut. Pelemahan rupiah saat ini sangat memberatkan perusahaan makanan dan minuman karena hampir sebagian besar bahan bakunya diimpor. Sebab, sejauh ini bahan baku perusahaan makanan minuman tidak bisa didapatkan dari dalam negeri.
“Tergantung, karena gula hampir 100% impor, susu juga 70% impor, terigu 100% impor juga, konsentrat buah 70% impor. Flavour juga. Hampir sebagian besar ketergantungan impor. Tahun depan mau tidak mau naikkan harga (jika rupiah semakin terdepresiasi),” kata Adhi.
“Berdasarkan survei, ketergantungan kita terhadap dolar besar sekali. Kita tahu secara praktis (di pasar valas) sudah mencapai Rp 15 ribu, ini sudah lampu kuning untuk kami,” ucap Adhi.
“Jadi memang ada pengurangan jam kerja, jam lembur dikurangi, bergilir shift. Dan pendapatan dari karyawan berkurang. Kalau PHK belum ada, tetapi kalau yang kecil-kecilan sudah terjadi. Beda dengan sektor lain, itu sudah terjadi di garmen, sepatu dan lainnya. Kita lagi mendata, minggu lalu sudah ada yang kurangi jam kerja, secara besar-besaran,” jelas dia.
Adhi menuturkan, jika kondisi ini berlarut, dikhawatirkan tidak ada pertumbuhan perusahaan makanan minuman, atau bahkan bisa negatif. Dan sejauh ini diperkirakan tekanan bagi perusahaan makanan minuman dari nilai tukar rupiah, maksimal apabila dolar sudah menyentuh level Rp 15 ribu.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: