Latest News
You are here: Home | Farmasi | Rp 44,6 Triliun Nilai Pasar Farmasi Nasional di 2012
Rp 44,6 Triliun Nilai Pasar Farmasi Nasional di 2012

Rp 44,6 Triliun Nilai Pasar Farmasi Nasional di 2012

(Duniaindustri 2012) – Pasar industri farmasi nasional tahun ini diperkirakan mencapai sekitar US$ 4,9 miliar atau setara Rp 44,6 triliun (Rp 9.100/US$). Jumlah itu mengalami kenaikan sekitar 7% dibandingkan 2011 yang sebesar US$ 4,57 miliar.

Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia Kendrariadi Suhanda mengatakan, “Tahun 2014 kami perkirakan pasar farmasi nasional akan mencapai US$ 6,1 miliar,” ujarnya di Jakarta dalam jumpa pers.

Kendra menjelaskan pangsa pasar bahan baku obat secara nasional sekitar 25% dari total pasar farmasi nasional. Saat ini Indonesia sulit untuk membangun industri bahan baku obat karena harga produk buatan lokal tidak mampu bersaing dengan produk impor yang jauh lebih murah. “Bahan baku kita tidak efisien dan jadi mahal,” jelasnya.

Nilai impor bahan baku obat diprediksi bakal mencapai Rp 11,4 triliun pada 2012, atau naik 8,5% dibandingkan tahun lalu Rp 9,59 triliun. Angka tersebut mencapai 95% dari total bahan baku obat di Indonesia. Nilai impor bahan baku tersebut sekarang telah mencapai 25% dari total pasar farmasi nasional.

Pemerintah dan pelaku usaha tengah merancang upaya menekan ketergantungan impor bahan baku obat hingga 20% dari total ketergantungan saat ini yang mencapai 95%. Itu antara lain dilakukan dengan mendorong produksi bahan baku obat substitusi di dalam negeri.

“Karena itu, investor juga membutuhkan fasilitas insentif dan kemudahan guna mendorong peluang membangun industri bahan baku obat di sini,” ujar Deputi Menko Perekonomian Eddy Putra Irawadi.

Menurut Edy, investor asal India saat ini sangat tetarik membangun pabrik bahan baku obat di Indonesia. Namun, investor India juga menanyakan sejumlah peluang insentif yang bisa didapatkan jika merealisasikan investasinya. ”Tax holiday, tax allowance, jaminan bea masuk (BM), fasilitas kawasan ekonomi, hingga jaminan investasi merupakan insentif-insentif yang menjadi perhatian calon investor,” katanya.

Bahan baku obat dan teknologi farmasi sebenarnya sudah dibuat di Indonesia. Bahkan, Indonesia telah memiliki laboratorium yang mampu memproduksi penisilin, gelatin, kapsul, infus, dan bahan pendukung lainnya.

“Tapi, kita tetap kejar investasi asing agar mau masuk ke sini, mulai dari kimia dasar hingga industri bahan bakunya, termasuk ketersediaan teknologinya, sehingga ketergantungan terhadap impor berkurang,” kata Eddy.

Data IMS Health menunjukkan tahun 2011 pasar farmasi nasional mencapai Rp 43,08 triliun. Tahun 2012, pasar farmasi nasional diproyeksikan tumbuh sekitar 13% menjadi Rp 48,61 triliun dari tahun lalu.

Kendrariadi Suhanda yang juga menjadi Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pemasok Bahan Baku Obat (Pharma Materials Management Club/PMMC) menjelaskan, Indonesia saat ini mengimpor bahan baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakkni sekitar Rp 6,84 triliun (60%), India di posisi kedua Rp 3,42 triliun (30%), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10%).

Kendrariadi berpendapat, upaya membangun industri bahan baku obat di Indonesia membutuhkan kerja keras. Pasalnya, saat ini, beberapa industri bahan baku obat setengah jadi juga masih mengandalkan bahan dasar impor. Dia mencontohkan produk parasetamol dan penisilin.

Karena itu, pengembangan industri farmasi harus dimulai dari industri kimia dasar agar kuat. Selain itu, pembangunan pabrik bahan baku obat di Indonesia juga harus memperhitungkan pasokan ke pasar ekspor. Sebab, pasar farmasi nasional saat ini masih relatif kecil atau hanya sekitar 0,3-0,4% dari total pasar farmasi dunia.

Ketua Asosiasi Perusahaan Farmasi Asing di Indonesia (International Pharmaceutical Manufacturer Group/IPMG) Luthfi Mardiansyah meminta pemerintah memberikan fasilitas insentif tax holiday untuk investasi bahan baku. “Industri farmasi membutuhkan insentif karena membutuhkan modal besar, minimal US$ 100 juta. Investasi di sektor ini pun membutuhkan insentif, misalnya diberikan tax holiday selama lima tahun,” ujar Luthfi.(Tim redaksi 02)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top