Duniaindustri.com (Oktober 2013) – Indonesia memang kaya dengan sumber daya mineral. Betapa tidak, negara ini memiliki 40% dari cadangan bijih nikel di dunia. Itulah sebabnya pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih belum membuka keran ekspor buat bijih nikel mulai 2014 mendatang. Dengan demikian, Indonesia diharapkan bisa menguasai pasar komoditas tersebut.
“Negara ini punya 40% dari cadangan bijih nikel dunia. Kalau dihentikan ekspornya, maka investor akan masuk,” kata Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite.
Dengan cadangan yang begitu besar, Thamrin merasa negeri ini bisa mengendalikan pasar bijih nikel di dunia. Terlebih permintaan komoditas juga makin naik karena nikel menjadi bahan baku dari berbagai industri dasar.
Tahun lalu, ekspor bijih nikel yang dilakukan oleh perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 41 juta ton, naik 28,12% dibandingkan dengan ekspor pada 2011 yang sebesar 32 juta ton.
Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Martiono Hadianto mengatakan kelayakan pembangunan smelter di dalam negeri ditentukan oleh biaya investasi, biaya operasional dan treatment and refining charges (TC/RC). Sementara ongkos TC/RC sendiri saat ini dikendalikan oleh pasar internasional.
Belum tersedianya infrastruktur pendukung untuk menjadi salah satu penyebab mahalnya investasi pembangunan smelter di dalam negeri. Karenanya, smelter perlu mendapatkan insentif untuk mengatasi biaya operasional tersebut.
Selain itu, ada risiko langsung perusahaan kehilangan pendapatan penjualan kotor sebesar US$4,3 miliar hingga US$8,1 miliar jika pemerintah tidak merevisi lampiran dalam Peraturan Menteri ESDM No. 7/2012.
Ketua Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) Shelby Ihsan mengatakan, rendahnya harga jual nikel serta adanya kebijakan pembatasan ekspor bijih mineral oleh pemerintah pada Mei 2012 menyebabkan penurunan produksi bijih nikel nasional. “Diproyeksikan produksi bijih nikel nasional tahun lalu mencapai 30 juta ton, turun 15 juta ton dari produksi 2011 sebesar 50 juta ton. Krisis ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika Serikat membuat permintaan dan harga nikel turun, sehingga perusahaan tambang mengurangi produksinya,” katanya.
Berdasarkan data ANI, produksi bijih nikel dari Januari sampai dengan Maret 2012 mencapai 20 juta ton. Kuota ekspor bijih nikel yang diberikan pemerintah pada 2012 sebanyak 28 juta ton, sehingga produksi pada periode yang sama diperkirakan mencapai 44 juta-50 juta ton. Namun, realisasi ekspor diperkirakan di bawah angka 50 juta ton karena tidak semua kuota yang diperoleh telah diekspor.
Pelaku usaha menilai. produksi bijih nikel tahun ini tidak akan meningkat signifikan karena tambang yang sudah tidak beroperasi butuh waktu untuk mempersiapkan produksi. Semua produksi bijih nikel diekspor karena belum ada industri dalam negeri yang mampu memanfaatkannya.(*)
Tingginya cadangan bijih nikel yang dimiliki Indonesia patut menjadi keunggulan komparatif untuk menentukan posisi tawar Indonesia di mata dunia. Pemerintah perlu bijak untuk mengatur ekspor dan pasokan domestik agar keseimbangan terjadi.