Duniaindustri.com (September 2015) – Produsen garmen di Indonesia mulai merancang strategi integrasi hulu-hilir sebagai salah satu alternatif untuk meredam gejolak kurs. Duniaindustri.com menilai langkah ini perlu dilakukan agar produsen garmen memperoleh jaminan bahan baku yang rentan terpengaruh gejolak kurs mengingat 80% kebutuhan kapas nasional masih diimpor.
Pengembangan industri garmen semakin mengarah ke bisnis yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Pelaku industri ini membidik produksi bahan baku serat kain hingga masuk ke sektor ritel yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Hal ini diikuti pula dengan aliran investasi dan pendirian pabrik baru serta perluasan fasilitas produksi tekstil dan produk tekstil (TPT).
Menurut Menteri Perindustrian Saleh Husin, investor dan pelaku bisnis menilai Indonesia tetap prospektif untuk penanaman modal jangka panjang. “Rekan-rekan pelaku industri garmen yang sudah ada, yang existing, saya lihat semakin agresif berekspansi menambah pabrik dan memperluas pasar ekspor. Untuk industri padat karya seperti garmen, maka berarti lapangan kerja semakin banyak tercipta,” kata Menperin Saleh Husin.
Sepanjang kuartal I 2015, investasi PMDN di industri TPT naik 25,4% menjadi Rp 455,1 miliar dari periode yang sama 2014 yang sebesar Rp 362,8 miliar. Sedangkan untuk PMA tekstil sampai dengan kuartal I tahun 2015 investasinya mencapai US$ 63 juta atau sekitar Rp 850,5 miliar.
Kemenperin mencatat, industri tekstil berperan sebagai penyumbang devisa, penyedia sandang nasional dan menyerap tenaga kerja sebesar 10,6% dari total tenaga kerja industri manufaktur.
Strategi integrasi bisnis garmen dari hulu ke hilir juga dilakukan untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebanyak 60.000 pekerja di industri tekstil Indonesia mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Umumnya, industri tekstil yang melakukan PHK adalah perusahaan yang orientasi pasarnya domestik.
“Semuanya yang berorientasi domestik rata-rata sudah menghentikan produksi sehingga mengurangi banyak tenaga kerja di Indonesia,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat.
Menurut Ade, kalangan pengusaha tekstil yang tergabung dalam API mengaku sangat mengkhawatirkan kondisi sekarang ini. Pelemahan rupiah akan semakin menekan laju produksi hingga 35%, terutama perusahaan tekstil yang berorientasi di pasar domestik.
Selain memberhentikan pekerja, kata Ade lagi, banyak perusahaan tekstil mulai memangkas jam operasional kerja para pegawai, yang semula 40 jam per minggu kini menjadi 25 jam per minggu. “Kini, pelemahan rupiah telah merambat ke sektor hulu pertekstilan yang berproduksi dalam pembuatan kain dan benang,” tutur Ade.
Sensitif Terhadap AS
Dua negara adidaya di dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan Eropa, ternyata sangat mempengaruhi kinerja industri tekstil di Indonesia. Perekonomian AS dan Eropa terbukti sensitif terhadap ekspor tekstil dan produk tekstil asal Indonesia.
Menurut hasil analisis PT Mandiri Sekuritas, setiap 1% kenaikan ekonomi AS, akan meningkatkan 1,5% pertumbuhan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia ke AS pada tiga kuartal berikutnya. Sedangkan setiap 1% kenaikan ekonomi kawasan Eropa, akan meningkatkan 3% pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke kawasan Eropa pada dua kuartal berikutnya.
Dalam hal ini, produk ekspor Indonesia masih harus bersaing dengan produk kompetitor seperti dari Vietnam memperebutkan peluang membaiknya pasar AS. Pangsa pasar ekspor TPT Indonesia di pasar utama AS dan Eropa sendiri relatif kecil, bahkan cenderung menurun. Di pasar AS, pangsa ekspor TPT Indonesia sebesar 3.8%, turun dibandingkan tahun 2009 yang sebesar 4,9%, sedangkan di pasar Eropa sebesar 0,9%, turun dari 1% pada 2009.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: