Latest News
You are here: Home | Agroindustri | Posisi Tawar Sawit Indonesia Lemah di Forum APEC
Posisi Tawar Sawit Indonesia Lemah di Forum APEC

Posisi Tawar Sawit Indonesia Lemah di Forum APEC

Duniaindustri.com (September 2012) – Berbagai kalangan antara lain pengamat, DPR, dan LSM, menyesalkan kegagalan pemerintah Indonesia memasukkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai produk ramah lingkungan (environmental goods) di forum APEC. Hal itu menunjukkan diplomasi dagang yang lemah dari pemerintah Indonesia.

Padahal negeri ini merupakan produsen dan eksportir terbesar CPO di dunia. Mestinya posisi tersebut dapat mengusung daya tawar yang lebih kuat di kancah internasional. Pemerintah juga didesak perlu all out memperjuangkan nasib CPO di kancah internasional. Penilaian tersebut disampaikan sejumlah pengamat, anggota DPR, dan LSM, ketika dimintai komenta terkait hasil forum APEC belum lama ini.

Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, mengatakan kegagalan Indonesia dalam memasukkan CPO sebagai environmental goods di forum APEC perlu mendapat perhatian khusus seluruh stakeholders di dalam negeri. “DPR akan mengevaluasi hasil APEC ini agar menjadi warning bagi pemerintah,” ujarnya.

Kegagalan itu memperlihatkan upaya pemerintah yang kurang tanggap, cermat, dan teliti dalam melakukan diplomasi dagang di dalam menghadapi persaingan global. “Ada indikasi terjadinya diskriminasi terhadap komoditas strategis Indonesia di persaingan global, dan ini sudah terjadi sejak lama,” ucapnya.

Menurut dia, kegagalan tersebut juga menunjukkan peran pemerintah yang kurang dalam pengembangan komoditas strategis nasional. Padahal dalam diplomasi dagang internasional, setiap negara berhak menyuarakan kepentingan nasional. Dia mencontohkan negara Barat menyuarakan proteksi komoditas strategi masing-masing, AS misalnya memproteksi komoditas gandum, kapas, dan kedelai.

Seharusnya, kata Firman, strategi kebijakan Indonesia mampu mendorong perkembangan komoditas strategis nasional. Sehingga CPO yang telah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional mendapat ruang yang cukup untuk terus berkembang. Dan daya tawar CPO Indonesia juga diperhitungkan di kancah internasional. “Mestinya dengan kondisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia, pemerintah negeri ini menjadi panglima perang dalam mengarahkan kebijakan global untuk mendukung pertumbuhan komoditas tersebut,” paparnya.

Ahmad Manggabarani, Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), mengatakan kegagalan pemerintah Indonesia untuk memasukkan CPO sebagai environmental goods di forum APEC memperlihatkan lemahnya lobi pemerintah Indonesia di kancah international. “Kegagalan itu merugikan Indonesia,” ujar mantan Dirjen Perkebunan ini.

Selain CPO Indonesia tidak memperoleh keringanan bea masuk maksimal 5% hingga 2015 di Asia Pacific, kegagalan pemerintah Indonesia juga memperlihatkan daya tawar komoditas Indonesia yang rendah. Padahal, Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar sejumlah komoditas strategis, terutama CPO.

Manggabarani menilai, kegagalan Indonesia di forum APEC juga disebabkan ketidakkompakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi persaingan global. Dia mencontohkan saat terjadi kampanye negatif terhadap CPO Indonesia, kementerian terkait di dalam negeri justru tidak satu suara untuk menghadapi dan mengatasi masalah tersebut. “Berbagai unsur di pemerintah serta pelaku usaha harusnya satu suara di dalam negeri, baru kemudian menyuarakan satu suara di kancah internasional,” ujarnya.

Berbeda dengan Indonesia, Malaysia yang saat ini menjadi produsen dan eksportir CPO kedua terbesar di dunia justru memiliki diplomasi dan daya tawar yang kuat di kancah internasional. Hal itu terjadi karena seluruh unsur di Malaysia menyadari CPO sebagai komoditas strategis negara itu.

Diplomasi dagang dan daya tawar yang tinggi diperlukan mengingat komoditas CPO merupakan pesaing minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai yang diproduksi AS. “Dengan adanya persaingan CPO melawan minyak kedelai, tentu misi dagang negara Barat berupaya melemahkan CPO di kancah internasional,” ujarnya.

Bustanul Arifin, pengamat ekonomi pertanian, mengatakan hasil APEC yang tidak mengakomodasi kepentingan Indonesia untuk memasukkan CPO dalam environmental goods memperlihatkan lemahnya diplomasi dan daya tawar pemerintah Indonesia di kancah internasional. “Komoditas Indonesia cenderung dipermainkan negara Barat, sehingga harga CPO sering ditekan untuk kepentingan negara Barat,” ujarnya.

Padahal, menurut Bustanul, APEC menjadi salah satu forum internasional yang penting untuk mendesak kepentingan nasional. Hal itu mengingat komoditas CPO memberikan kontribusi tinggi dalam perekonomian nasional, berupa devisa ekspor yang besar serta penyerapan tenaga kerja. Selain itu, CPO merupakan produk ramah lingkungan yang ditandai dengan adanya Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Kegagalan pemerintah Indonesia untuk memasukkan CPO sebagai environmental goods menunjukkan lemahnya koordinasi dalam hal diplomasi dagang pemerintah Indonesia. Komoditas strategis nasional cenderung dibiarkan dalam menghadapi persaingan di tingkat global. “Kita harus ingat bahwa CPO Indonesia juga bersaing melawan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai AS,” katanya.

Karena itu, Bustanul menilai diplomasi dagang pemerintah perlu diperkuat ke depan. Diplomasi dagang perlu dilakukan secara kontinyu dan komprehensif yang melibatkan pemerintah dan seluruh stakeholder, baik pelaku industri, petani CPO, dan lainnya.

Luas Lahan Terbesar di Dunia

Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan, luas areal lahan kelapa sawit di Indonesia pada 2011 mencapai 8.908.000 hektare, sementara di 2012 angka sementara mencapai 9.271.000 hektare, padahal target renstra Kementan hanya 8.557.000 hektare. Itu berarti, luas lahan sawit Indonesia saat ini telah meningkat dibanding 2011 dan melebihi target Renstra Kementan. Luas lahan sawit Indonesia menjadi yang terbesar di dunia.

Data Ditjen Perkebunan Kementan juga menyebutkan, volume ekspor kelapa sawit (CPO) di semester I 2012 mencapai 9.776.000 ton. Di 2011, volume ekspor kelapa sawit mencapai 16.436.000 ton.

Nilai ekspor kelapa sawit di semester I 2012 mencapai US$ 9.952 juta. Nilai ekspor kelapa sawit di 2011 sebesar US$ 17.261 juta.

Produksi kelapa sawit nasional di 2011 mencapai 22.508 ribu ton, sementara di 2012 angka sementara 23.633 ribu ton, di target renstra Kementap ditetapkan 25.710 ribu ton. Saat ini Indonesia telah menerapkan moratorium lahan perkebunan sawit yang membatasi ekspansi produsen sawit. Meski demikian, luas lahan sawit terus meningkat.

PT Sinarmas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) menguasai lahan sawit terbesar di Indonesia sebesar 480 ribu hektare hingga saat ini. Total lahan sawit di Indonesia pada 2012 diperkirakan mencapai 8,2 juta hektare.
Seorang eksekutif SMART yang enggan diungkap jatidirinya menyebutkan dengan luas lahan itu, Sinarmas Agro menjadi produsen sawit terbesar di Indonesia. “Sinarmas Group juga memiliki 1 juta hektare lahan sawit di Papua yang belum digarap,” ujarnya kepada duniaindustri.com.

Data Kementerian Pertanian RI yang diperoleh tim redaksi duniaindustri memperlihatkan, Sinarmas Group masih mendominasi produksi CPO sebanyak 15.000 ton per hari dengan total luas lahan kebun sawit di Indonesia mencapai 320 ribu hektare di 2010 dan 2011. Perusahaan terbesar kedua adalah Wilmar International Group yang memproduksi 7.500 ton per hari dengan luas lahan 210 ribu hektare.

Disusul kemudian PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV yang memproduksi 6.675 ton per hari, kemudian PT Astra Agro Lestari Tbk yang memproduksi 6.000 ton per hari dengan luas lahan 192 ribu hektare.

Data Kementerian Pertanian juga menyebutkan, jika dilihat dari luas lahan kebun sawit yang dimiliki, Salim Group yang merupakan induk usaha dari PT Salim Plantations, Indofood Group, dan IndoAgri menguasai lahan sawit terbesar di Indonesia sebesar 1.155.745 hektare. Disusul kemudian oleh Sinarmas Group dan Wilmar. Namun, lahan yang dimiliki Salim Group belum ditanami seluruhnya, hanya 95.310 hektare.

Data Kementerian Pertanian menyebutkan, luas areal kelapa sawit di Indonesia hingga 2009 mencapai 7,32 juta hektare meningkat 11,8% per tahun sejak 1980 yang baru mencapai 290 ribu hektare. Indonesia dan Malaysia menguasai 86% produksi CPO dunia. Indonesia menguasai 44,5% produksi CPO dunia, sedangkan Malaysia 41,3%.(Tim redaksi 02/sds)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top