Duniaindustri.com (Agustus 2018) – Kewajiban pasok dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk komoditas batubara menuai polemik pada akhir Juli 2018. Bagaimana tidak, sejumlah menteri memiliki pandangan yang berbeda terkait kebijakan untuk komoditas emas hitam tersebut.
Minggu lalu, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah merencanakan untuk mencabut kebijakan DMO batubara. Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution juga menyiratkan hal serupa yakni wacana pencabutan DMO batubara yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam negeri serta menopang ekspor.
Namun, Menteri Energi Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak ada perubahan dalam kebijakan DMO batubara. Dengan tegas dia menjelaskan keputusan Presiden sesuai dengan apa yang berlaku saat ini.
“Tidak ada perubahan. Tidak ada Peraturan Pemerintah baru,” kata Jonan usai Rapat Terbatas Strategi Kebijakan Memperkuat Cadangan Devisa, Selasa (31/7/2018).
Dia memastikan kebijakan DMO tetap mengikuti kebutuhan nasional. Hitungan kuota DMO 25% juga tidak berubah. “DMO itu mandat dari Undang–Undang No.4/2009 tentang Minerba. Nah besarannya (kuota) diatur oleh Menteri. Kalau price cap US$70 itu diatur oleh PP. Jadi tetap sama,” tegasnya.
Di sisi lain, PT PLN (persero) mengaku berpotensi mengalami kerugian di atas Rp30 triliun jika kebijakan DMO dicabut. “Harus subsidi, subsidi besar-besaran. Selisih batu bara dengan APBN. APBN kita kan US$70-US$68 per ton, sekarang sudah sekitar US$120 kan. Berarti besar sekali, mungkin di atas Rp30triliun,” kata Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Kehilangan Pendapatan
Sebelumnya, 15 perusahaan batubara nasional hadir dalam rapat dengan pendapat umum (RDPU) dengan Komisi VII DPR RI. 15 perusahaan tersebut berpotensi kehilangan keuntungan pendapatan tahun ini.
Hal ini dikarenakan dampak dari peraturan pemerintah tentang batasan harga batu bara untuk kewajiban pasar domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) bagi pembangkit listrik yang ditetapkan 12 Maret 2018 lalu.
Adapun perusahaan yang hadir PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Kaltim Primacoal, PT Kideco Jaya Agung, PT Indominco Mandiri, PT Antang Gunung Maratus, PT Borneo Indobara, PT Insani Bara Perkasa, PT Mahakam Sumber Jaya, PT Mandiri Inti Perkasa, PT Pesona Katulistiwa Nusantara, PT Trubaindo Coal Mining, PT Bukit Asam, dan PT Bumi Rantau Energi.
Kelima belas perusahaan tersebut memang menyatakan berkomitmen untuk memenuhi aturan tersebut, dimana penjualan batu bara 25% untuk domestik dari rencana penjualan produksi batubara 2018. Serta penetapan harga batubara untuk domestik sebesar US$ 70 per metrik ton.
Kendati demikian, mereka mengakui perusahaan kehilangan pendapatan yang cukup besar. Seperti yang dialami PT Arutmin Indonesia, perusahaan kehilangan pendapatan US$ 67,8 juta atau sekitar Rp920 miliar.
“Di tahun 2018 ini penurunan pendapatan kami sekitar US$ 67,8 juta atau sekitar Rp920 miliar sejak peraturan ini diberlakukan 12 Maret lalu,” ujar Direktur Utama PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat dalam RDPU di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Sementara itu, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Kurnia Ariawan mengatakan, di 2018 produksi Kideco sebesar 32 juta ton. Dengan aturan tersebut perusahaan mengalami kehilangan pendapatan hingga Rp1,1 triliun. “Perhitungan kami terhadap penetapan harga USD 70 dollar per ton, impact-nya ke penjualan Kideco itu Rp1,1 triliun tahun ini,” ujar Kurnia.
Senada, Direktur PT Kaltim Prima Coal Eddie J. Soebari menyatakan potensi kehilangan pendapatan perusahaan sebesar Rp2,5 triliun. Ini berdasarkan 25% produksi atau sekitar atau sekitar 12,7 juta ton tahun ini akan disetorkan perusahaan ke PLN.
“Sama dengan kawan-kawan lain, kami akan ikuti ketentuan DMO itu. Dengan dibandingkan harga batu bara sebesar USD70 per metrik ton, ada potensi kehilangan pendapatan Rp2,5 triliun,” sebutnya.
Eddie menyebutkan potensi kehilangan sebesar Rp2,5 triliun tersebut hanya sebesar 4% dari total pendapatan perusahaan di 2018.
Sementara itu, PT Adaro Indonesia juga mengaku perusahaan akan kehilangan pendapatan akibat aturan ini. “Dari sisi market memang terjadi gap, ini yang kita lakukan mitigasi risiko. Untuk 2018, kita lakukan upaya-upaya efisiensi, sehingga untuk DMO 25% paling tidak kita bisa penuhi apa yang ditetapkan pemerintah,” jelas Direktur Pemasaran PT Adaro Indonesia, Henri Tamrin.
Adapun, PT Berau Coal mengaku kehilangan pendapatan mencapai USD70 juta di 2018, sedangkan PT Trubaindo Coal Mining mengaku kehilangan pendapatan sekitar USD22 juta di tahun ini.(*/berbagai sumber/tim redaksi 06)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: