Duniaindustri.com (Desember 2013) – Polemik seputar rencana pemerintah melalui Kementerian Kesehatan yang akan mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) terus berkecamuk. Di penghujung tahun 2013, Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi tetap optimis pemerintah dapat mengaksesi FCTC pada tahun ini.
Nafsiah mengisyaratkan, FCTC kemungkinan diratifikasi dalam bentuk Peraturan Presiden (perpres), bukan dalam bentuk undang-undang. Sejauh ini, aksesi FCTC masih mendapat hambatan dari 3 kementerian yakni Perindustrian, Perdagangan, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
“Mungkin kita akan ratifikasi dalam bentuk peraturan presiden (perpres), bukan dalam bentuk perundang-undangan. Dalam waktu 2 bulan perpres lebih memungkinkan dibanding UU,” ujarnya.
Walau paling memungkinkan, perpres memiliki kekuatan hukum yang lebih lemah dibanding UU. Pembuatan UU, kata Nafsiah, perlu proses lebih panjang dan lama dibanding perpres karena harus disetujui DPR dan seluruh menteri. Ini tidak mungkin dicapai karena masih adanya penolakan FCTC dari menteri dan anggota dewan.
Sedangkan perpres hanya butuh persetujuan menteri terkait, yang berada di bawah menteri koordinator (menko). Dalam penetapan perpres FCTC, menko yang terlibat adalah menteri koordinator kesejahteraan rakyat (menko kesra) dan menteri koordinator ekonomi dan industri (menko ekuin). Dua menko ini, kata Nafsiah, sudah menyetujui FCTC dalam bentuk perpres.
“Mungkin minggu depan akan diatur pertemuan antar menko dan kementrian di bawahnya, serta Kemenkes RI. Pada dasarnya mereka sudah setuju dan membolehkan ratifikasi FCTC dalam perpres,” ujarnya.
Nafsiah mengatakan, dia beserta jajarannya sudah menjelaskan keuntungan ratifikasi FCTC. Ratifikasi ini tidak lantas membuat industri rokok kecil dan besar gulung tikar. Ratifikasi FCTC juga tidak lantas menyebabkan pemilik pabrik gulung tikar, atau terjadi PHK besar-besaran.
Namun jawaban tersebut belum dimengerti beberapa pihak yang menolak FCTC, seperti pengusaha, pekerja, dan petani tembakau. “Kita sudah jelaskan namun masih ada penolakan. Padahal pelaksanaan FCTC tidak lantas membuat pabrik atau petani bangkrut. Pelaksanaannya perlahan dengan tahap yang tidak mengikat, sesuai karakter negara,” papar Nafsiah.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi FCTC. Sebagai anggota OKI, hanya Indonesia dan Somalia yang belum meratifikasi FCTC. Ini tentu memalukan, mengingat Indonesia adalah salah satu penggagas FCTC dan pemimpin global health.
Penolakan Keras
Sementara di sisi lain, dua kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian secara tegas menolak ratifikasi FCTC tersebut.
Enny Ratnaningtyas, Direktur Makanan dan Tembakau Kementerian Perindustrian, mengatakan jika alasan ratifikasi FCTC hanya soal kesehatan, sebenarnya Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki aturan serupa yaitu melalui PP No 109 tahun 2012. Bahkan, sejak diluncurkan setahun yang lalu, aturan tersebut belum pernah diimplementasikan.
Enny menuturkan, bagaimana mungkin aturan sendiri yang sudah dibuat tidak diimplementasikan, tapi justru sudah mau memakai aturan internasional.
“Aturan dalam FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan dinamis dan rawan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan mereka (asing),” kata Enny dalam seminar bertema “Dampak Aksesi FCTC Bagi Industri Hasil Tembakau”.
Menurut Enny, pada dasarnya Kemenperin mendukung perlindungan kesehatan masyarakat dalam upaya untuk mengatasi dampak negatif rokok. Namun, dikhawatirkan FCTC akan menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan terkait industri rokok, meski dalam pasal-pasal FCTC disebutkan tetap mengutamakan hukum nasional dan kondisi masing-masing negara.
“Meski guideline secara hukum tidak wajib dipenuhi anggota, negara maju anggota FCTC bakal mendorong semua anggota untuk mematuhinya. Dalam perjalanannya, negara-negara maju anggota FCTC sering melakukan review terhadap guideline FCTC dengan menambahkan aturan-aturan baru yang ketat dan seluruh anggota wajib mematuhinya,” kata Enny.
Nurnowo Paridjo, Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian, mengatakan, ratifikasi FCTC dinilai tidak statis. Belajar dari pengalaman ratifikasi food, awalnya hanya diatur soal beras namun lama-lama diatur soal yang lain seperti susu. “Sehingga kita harus mencermati dampak peraturan internasional yang lain terhadap aspek ekonomi, budaya, hukum,” katanya.
Nurnowo menuturkan, para pekerja di sektor tembakau mengungkapkan kekhawatiran bahwa FCTC akan mengancam kelangsungan hidup mereka karena konsekuensi ratifikasi FCTC adalah pengendalian tembakau atau rokok.
Berdasarkan data Kementan, ada 6,1 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung di industri hulu dan hilir tembakau. Jumlah ini terdiri dari 2 juta orang petani tembakau, 1,5 juta orang petani cengkeh, 600 ribu orang tenaga kerja di pabrik rokok, 1 juta orang pengecer rokok dan 1 juta orang tenaga percetakan dan periklanan rokok.
Nah, dengan melihat data-data di atas, ratfikasi FCTC bakal berdampak besar pada kesejahteraan pekerja di industri tembakau. Sebaiknya Indonesia fokus terhadap upaya implementasi PP 109 Tahun 2012.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, mengatakan Pemerintah perlu dikaji lagi apakah perlu Indonesia meratifikasi FCTC. Dia mengingatkan secara substansi pengendalian tembakau patut didukung terlebih bila pengaruhnya membahayakan generasi muda. “Namun, apakah Indonesia perlu meratifikasi FCTC?” kata Hikmahanto.
Dia merasa perlu mengingatkan pengambil kebijakan bahwa perjanjian internasional oleh negara-negara tertentu kerap dijadikan instrumen pengganti kolonialisme.
Melalui perjanjian internasional maka suatu negara dapat mengendalikan negara lain, bahkan melakukan intervensi kedaulatan hukum. Indonesia memiliki banyak pengalaman terkait hal ini.
Dia lalu menunjuk UU Hak Kekayaan Intelektual yang diamandemen bukan karena munculnya kesadaran masyarakat Indonesia tetapi karena kewajiban dalam Perjanjian WTO yang didasarkan pada sistem hukum dan praktik di negara maju.
Terkait aksesi FCTC, dia mengingatkan pemerintah agar cermat memahami keberadaan FCTC. “Jangan sampai kedaulatan negara dikompromikan dengan kepentingan negara lain,” demikian Hikmahanto.(*/berbagai sumber)