Duniaindustri.com (Maret 2016) – PT Phapros Tbk, produsen farmasi yang merupakan anak usaha dari PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menganggarkan investasi sebesar Rp 450 miliar untuk pembangunan pabrik baru di kawasan industri Pringapus, Kabupaten Semarang. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi perusahaan milik negara yang bergerak bidang farmasi dan alat kesehatan tersebut.
Saat ini, pabrik lama yang berlokasi di Jalan Simongan, Semarang, memunyai kapasitas produksi yang terbatas. Lantaran itulah, anak usaha dari PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) ini kesulitan untuk berkembang secara cepat. “Kami sediakan Rp 450 Miliar. Berdasarkan hitungan kami, itu nanti luasnya dua kali lipat dari pabrik sekarang ini,” kata Direktur Utama PT Phapros Iswanto.
Menurut dia, pembangunan pabrik baru nantinya akan meningkatkan produksi pembuatan obat. Proses produksi di Pabrik Simongan saat ini sejumlah 1 miliar butir tablet per tahun. Dengan pabrik baru, Phapros bisa memproduksi hingga 2 miliar tablet per tahun.
Dengan perhitungan itu, jika seluruh pabrik digabungkan, bisa tersedia produksi 3 miliar butir tablet tiap tahunnya. “Kita masih optimistis dengan pasar farmasi, karena market share tinggi, terutama obat-obat generik,” tambah dia.
Pertumbuhan penjualan obat generik dari Pharpos ini juga terbilang tinggi. Tahun 2015 lalu, penjualan kategori generik meningkat 30 persen, dibanding jenis obatan lain yang meningkat 9.8 persen. “Semua lini produk tahun lalu mengalami kenaikan,” katanya.
Beroperasinya pabrik baru, tambah Iswanto, akan membuka peluang perusahaan ini tumbuh berkembang. Selain itu, lapangan pekerjaan untuk tenaga lokal dengan pabrik baru otomatis terbuka lebar.
Tren Investasi
Investasi industri farmasi dalam negeri pada 2015 tercatat tumbuh signifikan sebesar 118% menjadi Rp 6,5 triliun dari tahun sebelumnya Rp 3 triliun. Angka tersebut diharapkan terus meningkat tahun ini seiring pemerintah yang telah merevisi aturan bidang usaha ini menjadi lebih terbuka untuk asing.
Jumlah investasi farmasi dan obat-obatan dalam negeri sepanjang tahun lalu tersebut diperoleh dari kontribusi penanaman modal asing (PMA) sebesar US$ 105,8 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun dan dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 5,1 triliun.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), distribusi komitmen investasi yang dicatatkan dari sektor farmasi tersebut didominasi oleh provinsi Jawa Barat dengan 15 proyek senilai Rp 5,4 triliun dengan rencana penyerapan tenaga kerja sebesar 2.385 tenaga kerja. Selanjutnya yakni provinsi Jawa Timur dengan 2 proyek sebesar Rp 588 miliar dan jumlah tenaga lokal 287 orang.
Selain itu, provisi Jawa Tengah mencatatkan 1 proyek senilai Rp 300 miliar dengan jumlah tenaga kerja 500 orang. Adapun provinsi Banten sebanyak 2 proyek dengan nilai Rp 102 miliar dan rencana penyerapan tenaga kerja 190 orang, serta DKI Jakarta dengan 2 proyek senilai Rp 60 miliar dan tenaga kerja 461 orang.
“Beberapa minat yang diidentifikasi masuk ke sektor farmasi oleh tim Marketing Officer serta perwakilan BKPM di antaranya dari Amerika Serikat (AS) dan Kanada sebesar US$ 70 juta. Jepang US$ 40 juta, serta dari Korea Selatan dari dua perusahaan sebesar US$ 260 juta,” kata Frangky Sibarani, Kepala BKPM dalam keterangan tertulis.
Untuk tahun ini, lanjutnya, sektor farmasi digadang-gadang menjadi sektor yang diharapkan dapat berkembang ditandai dengan langkah pemerintah untuk merevisi bidang usaha di sektor tersebut menjadi lebih terbuka. Hal teersebut diharapkan dapat menjadi stimulus untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku obat.
“Sektor farmasi saat ini dibuka 100% PMA, dimana sebelumnya dibatasi maksimal PMA 85%. Ini diharapkan investor sektor farmasi mulai dari hulu hingga hilir dapat mempertimbangkan Indonesia menjadi tambatan investasinya,” ungkap Frangky.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: