Latest News
You are here: Home | Agroindustri | Perusahaan Perkebunan Selalu Jadi Korban dalam Kasus Kebakaran Hutan
Perusahaan Perkebunan Selalu Jadi Korban dalam Kasus Kebakaran Hutan

Perusahaan Perkebunan Selalu Jadi Korban dalam Kasus Kebakaran Hutan

Duniaindustri.com (Agustus 2014) – Sejumlah kalangan yakni pakar tanah dan pengamat perkebunan menilai perusahaan perkebunan selalu dikorbankan dalam kasus kebakaran hutan gambut, padahal dalangnya justru oknum penyerobot lahan. Kecil kemungkinan perusahaan perkebunan skala besar membuka lahan dengan cara dibakar mengingat sanksi yang berat dan pengawasan ketat oleh pemerintah daerah.

Ahmad Manggabarani, Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SP), mengatakan kebaran hutan dilahan gambut lebih banyak dilakukan oleh oknum penyerobot lahan, bukan perusahaan perkebunan skala besar. “Kalau perusahaan sudah ada regulasi jelas dan itu termasuk tindakan kriminal, jadi kecil kemungkinannya,” ujarnya.

Dia menilai lahan perusahaan perkebunan kemungkinan mendapat rambatan api yang disulut oleh oknum penyerobot lahan, sehingga ketika di citra satelit terlihat sebagai titik api. “Jadi perlu ada audit komprehensif, siapa pelaku pembakaran dan siapa korbannya,” katanya.

Ahmad menjelaskan oknum penyerobot lahan biasanya membakar hutan karena murah biayanya dibanding menyewa alat berat. Kondisi ini sudah berulang kali terjadi di sejumlah daerah.

Selain itu, pembakaran hutan juga biasanya dilakukan di tanah tidak berizin karena kurangnya pengawasan pemerintah daerah. “Pembukaan lahan melalui cara dibakar biasanya dilakukan di musim kemarau, ini tugas pemerintah pusat dan pemda untuk mengintensifkan pengawasan. Jangan sampai ketika pembakaran menjalar dan membesar, baru semua memperhatikan,” tegasnya.

Aksi pembakaran, lanjut dia, perlu dicegah karena jika tidak bisa menjadi masalah internasional. Asap yang terjadi dalam proses pembakaran bisa terbawa hingga ke Singapura, Malaysia, dan Brunei sehingga memicu protes negara-negara tersebut. Tudingan lalu dialamatkan pada perusahaan perkebunan, padahal dalangnya justru oknum penyerobot lahan. “Di sini terlihat perusahaan perkebunan selalu jadi korban,” paparnya.

Kondisi ini yang terus berulang tiap tahun harus menjadi perhatia khusus presiden mendatang. “Jangan sampai perusahaan perkebunan dikorbankan terus, tanpa audit yang jelas,” ucapnya.

Solusi atas masalah itu, menurut dia, antara lain pemberdayaan masyarakat lokal untuk diberi penyuluhan seca kontinyu serta meningkatkan pengawasan di daerah. Pemda harus berperan aktif mencegah kebakaran hutan sedini mungkin dan menerapkan sanksi tegas terhadap dalang pembakaran.

Basuki Sumawinata, pakar ilmu tanah dan ahli tanah gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB), juga menilai kebakaran hutan gambut disebabkan oleh perambah hutan yang ‘lapar tahan’. Perambah hutan itu biasanya menyerobot tanah masyarakat untuk kepentingan pribadi. “Intinya, tidak selalu kebakaran lahan gambut itu disebabkan oleh perusahaan perkebunan, justru mereka sudah diawasi ketat oleh pemerintah,” katanya.

Menurut dia, pembukaan lahan di daerah hutan oleh masyarakat dan perusahaan skala kecil memang dilakukan dengan cara membakar. Namun, pembakaran dilakukan hanya di wilayah hutan tidak berizin. “Sebab, pembakaran hutan di daerah hutan yang memiliki izin kecil kemungkinannya karena diawasi ketat oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan pemerintah daerah,” ujarnya.

Dia mensinyalir kebakaran lahan gambut dilakukan di daerah tidak berizin ataupun hutan milik negara yang kurang diawasi. “Pelarangan pembakaran pun akan sia-sia karena masyarakat dan perusahaan skala kecil pasti membuka lahan dengan cara membakar. Mereka tidak memiliki dana untuk menyewa alat berat,” tuturnya.

Basuki menjelaskan pembukaan lahan dengan cara membakar juga disebabkan karena rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat. Padahal sekarang teknologi pembukaan lahan telah maju dan bukan hanya melalui membakar. “Namun yang paling mudah dan rendah biaya membakar, tapi memiliki resiko api menyebar dengan cepat,” tuturnya.

Dia menegaskan hal itu pernah terjadi pada kebakaran hebat pada 1998 di lahan sejuta hektare. Sementara tahun lalu, kejadian serupa terjadi di Cagar Biosfer Bukit Batu.

Karena itu, menurut dia, pembakaran lahan gambut menjadi salah satu tantangan terbesar pemerintahan mendatang. Salah satu solusi yang harus dilakukan adalah memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat serta perusahaan skala kecil tentang cara pembukaan lahan yang benar. Selain itu, pembukaan lahan hutan harus meniru konsep kawasan industri yang memiliki pemetaan teratur segala jenis infrastruktur, berupa pengairan, pembatas, dan fasilitas lainnya.

Pernyataan Ahmad dan Basuki itu juga membantah bahwa sekitar 75% kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi di lahan gambut yang menjadi perkebunan. Kebakaran itu jauh lebih susah dipadamkan dan menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca.

Laporan Global Forest Watch (GFW) pertengahan Juni 2014 menunjukkan, kebakaran di lahan gambut biasanya lebih lama dan menghasilkan asap lebih banyak dibandingkan kebakaran lain. Selain itu, kebakaran lahan gambut juga menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca ke atmosfer dibandingkan kebakaran lain serta berdampak lebih serius terhadap risiko gangguan pernapasan dan serangan jantung.

Sementara data GFW menyebut, tiga perempat peringatan titik api yang terdeteksi di Indonesia pada 18 Maret 2013-17 Maret 2014 berada di lahan gambut. Pada kurun yang sama, jumlah titik api terbanyak terdapat di Bengkalis, yakni 3.727 lokasi, disusul Rokan Hilir (1.507), Pelalawan (1.066), dan Siak (746).

Luas kawasan lahan gambut di Bengkalis, yang disebut memiliki titik api terbanyak versi GFW, mencapai 75%. Lahan gambut Rokan Hilir mencapai 50% luas kawasan, Pelalawan 57%, dan Siak 58%.

Analisis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebaran titik api Januari 2014 hingga 21 Juli 2014 secara kumulatif paling banyak terdapat di Rokan Hilir (704 lokasi), Bengkalis (683), Pelalawan (464), dan Dumai (407). Titik api terbanyak 2009-2013 konsisten dipegang Rokan Hilir, kecuali tahun 2012 yang diambil alih Pelalawan.

“Titik api di Rokan Hilir ini kebanyakan muncul di kawasan kubah gambut yang telah dibuka,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.(*/berbagai sumber/AND)

datapedia

DIVESTAMA2 (1)

desainbagus kecil

CONTACT US BY SOCIAL MEDIA:

TwitterLogo Like-us-on-Facebook

logo slideshare google-plus-logo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top