Duniaindustri.com (Juli 2016) — Perusahaan asal Korea Selatan (Korsel) berencana membangun pabrik sepatu dengan nilai investasi US$ 150 juta di Jepara, Jawa Barat. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja akan menjadi fokus dari BKPM.
Pembangunan pabrik sepatu tersebut, lanjut dia, akan dilakukan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah yang bisa menyerap 15.000 tenaga kerja. “Di tengah kondisi perekonomian dunia yang sulit, upaya penciptaan tenaga kerja menjadi hal yang sangat penting dalam upaya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. BKPM akan terus melakukan langkah aktif untuk menarik investasi padat karya,” katanya dalam keterangan tertulis.
Franky menuturkan, perusahaan tersebut sudah mendapatkan izin prinsip oleh BKPM dan segera akan melakukan pembangunan pabrik sepatu dan instalasi mesin. Dia juga terus melakukan upaya-upaya untuk menarik investasi di sektor padat karya dari negara-negara prioritas.
“Korea Selatan, Tiongkok dan Jepang merupakan negara-negara yang memiliki eksposure investasi padat karya yang besar di Indonesia,” imbuhnya.
Kepala Kantor BKPM di Korea Selatan (IIPC Seoul) Imam Soejoedi menambahkan dirinya akan terus mengawal investasi ini agar rencana tersebut dapat diwujudkan. Dia juga mengatakan investor tersebut sangat serius untuk membangun pabrik sepatu di wilayah Indonesia.
“Mereka meminta dukungan dari pemerintah pusat dan daerah dalam rangka merealisasikan pabrik sepatu di Kabupaten Jepara,” tutur Imam.
Menurut data BKPM, pada periode kuartal I 2016, Korea Selatan berada di peringkat keenam dari daftar asal investasi ke Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$ 188 juta yang terdiri dari 435 proyek dan menyerap 28.349 tenaga kerja.
Pada Maret 2016, prinsipal sepatu asal Taiwan juga berminat melakukan perluasan usaha atau ekspansi ke Indonesia dengan nilai investasi sekitar US$360 juta dan menyerap tenaga kerja hingga 91,8 ribu orang.
Kepala BKPM Franky Sibarani dalam keterangan tertulisnya, mengatakan pihaknya telah bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk mendiskusikan rencana perluasan tersebut. “Dengan meningkatkan investasi di Indonesia, maka kapasitas pabrik investor yang ada di Indonesia bisa meningkat dan akan berkontribusi positif pada penjualan produk sepatu di pasar global,” kata Franky.
Franky menyebutkan, produsen sepatu ini menguasai 30% pasar dunia. Perusahaan ini juga menyampaikan beberapa concern terkait investasi yang dilakukan diantaranya adalah mengenai insentif investasi yang diberikan untuk industri sepatu. “Upaya pemerintah mendorong investasi padat karya tercermin dalam beberapa paket kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Lebih lanjut Ia menyatakan, berbagai insentif pemerintah diantaranya paket ekonomi jilid III tentang discount tariff hingga 30% untuk pemakaian pukul 23.00-08.00 dan penundaan pembayaran hingga 40% untuk industri padat karya dan industri berdaya saing lemah. Lalu paket ekonomi jilid IV tentang PP 78/2015 yang memberikan kepastian formula pengupahan bagi investor, serta paket jilid VII tentang tax allowance serta subsidi PPH 21 sebesar 50% untuk sektor padat karya dengan memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan.
Data BKPM tahun 2015 menunjukkan komitmen investasi yang masuk dari sektor sepatu mencapai Rp4,26 triliun. Kontribusi terbesar dari investasi asing dengan nilai mencapai Rp4 triliun (95%), kemudian dari dalam negeri tercatat Rp266 miliar (5%). “Rencana investasi tersebut akan menyerap 77 ribu tenaga kerja,” pungkasnya.
Ekspor Sepatu
Industri sepatu nasional menargetkan ekspor 2015 mencapai US$ 4,2 miliar. Jumlah ini meningkat US$ 200 juta dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar US$ 4 miliar.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung mengatakan bahwa target ekspor tersebut terbilang kecil, di antaranya disebabkan kenaikan upah dan kenaikan biaya energi.
“Paling naik sedikit sekitar US$ 200 juta. Karena ada demo dan lain-lain. Akhirnya tunggu saja pemerintahan baru. Ekonomi ini kan soal kepastian karena tanam investasi,” ujarnya.
Dia menjelaskan, ekspor produk sepatu dalam negeri banyak disumbang oleh merek-merek sepatu asing yang telah diproduksi di Indonesia seperti Nike dan Adidas. “Kalau Nike dan Adidas itu kan ekspornya itu 70% dari total produksi. Dan 70% dari ekspor (sepatu nasional) adalah sepatu sport. Sekitar 35% ekspor ke Eropa, 25% ke Amerika Serikat, lalu ada juga ke Jepang dan Australia,” lanjutnya.
Sementara tahun 2015 saat, mulai berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dia pesimistis akan terjadi pertumbuhan ekspor yang besar. “Tumbuh nggak banyak. Yang harus diperhatikan adalah nanti ada free flow of goods dan labour. Untung di kita sudah ada lembaga sertifikasi alas kaki, misalnya yang kerja disini harus bisa bahasa Indonesia. Selain itu juga keahlian,” katanya.
Omzet industri sepatu secara keseluruhan pada semester 1/2014, menurut Binsar, belum ada banyak perbaikan jika dibandingkan tahun lalu yaitu sebesar USD2 miliar. Meski demikian, diayakin denganjumlah penduduk yang besar dan kondisi ekonomi yang membaik bisa memacu pertumbuhan penjualan sepatu di dalam negeri.
“Demand kita kan dari 250 juta (penduduk) itu tinggal kali dua. Jadi, sekitar 500 juta pasang. Ini bisa dilihat juga dari skala pendapatan nasional. Masalahnya di Indonesia, antara pendapatan tinggi dan rendah jaraknya jauh sekali,” katanya.
Hingga saat ini kapasitas terpasang industri alas kaki nasional sekitar 70-80%. Oleh karena itu, Binsar berharap pemerintah mendatang bisa lebih menjaga kondisi ekonomi termasuk soal upahburuh sehingga pengusaha dapat menambah kapasitas terpasang industrinya.
“Idealnya kan 90%, karena ada ribut soal upah. Ini belum terselesaikan karena politisasinya cukup tinggi. Peminat investasi juga banyak, tapi tunggu bagaimana pemerintahan kita. Kalau respons terhadap hasil pilpres baik, ya semua lancar,” katanya.
Perkembangan industri alas kaki nasional dapat dilihat dari nilai ekspor sepatu yang terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan, pada 2013 nilai ekspor sepatu mencapai USD3.86 miliar dibandingkan 2012 sebesar USD 3,6 miliar. Selain nilai ekspor yang cukup besar, surplus ekspor industri alas kaki selama 5 tahun terakhir rata-rata mencapai US$ 2 miliar. Dengan nilai ekspor tersebut, Indonesia mampu memenuhi sekitar 3% kebutuhan dunia akan produk alas kaki.(*/berbagai sumber/tim redaksi 02)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: