Duniaindustri.com (Mei 2014) — Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan industri pengolahan pada kuartal I/2014 hanya 5,56% dibandingkan dengan kuartal I/2013 yang tumbuh hingga 6,86%. Realisasi kuartal I/2014 itu pun juga menyusut terhadap kuartal IV/2013 (q-to-q) yang masih 5,56%.
Dengan kenyataan itu, Kemenperin akhirnya mengoreksi target pertumbuhan industri nonmigas 2014 menjadi hanya 5,5%-5,9%. Padahal sebelumnya, pertumbuhan ditargetkan bisa mencapai 6,4%-6,8% karena realisasi pada tahun ini harus lebih tinggi daripada 2013 sebesar 6,1%.
Dari sisi tenaga kerja, pola serapan bahkan cenderung melemah meski BPS mengeluarkan data penguatan penyerapan tenaga kerja di Tanah Air pada periode awal 2014. Mengutip BPS, jumlah penganggur pada Februari 2014 menjadi 7,15 juta orang dari total angkatan kerja 125,3 juta orang.
Meski angka pengangguran itu lebih rendah dibandingkan dengan Agustus 2013 yang mencapai 7,41 juta orang, penyerapan tenaga kerja lebih banyak ditopang oleh sektor informal sedangkan daya serap sektor manufaktur alias industri besar dan sedang cenderung melemah.
Kontribusi PDB industri pengolahan atas dasar harga berlaku dan harga konstan pada kuartal I/2014 bahkan melorot drastis dibandingkan dengan kontribusi pada kuartal I/2013 dari Rp507,5 triliun menjadi hanya Rp178,8 triliun.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan perlambatan pertumbuhan in dustri nonmigas sudah diprediksi sebelumnya dengan berbagai alasan. Salah satu penyebab terjadinya perlambatan, tuturnya, karena ada nya aturan UU Minerba yang diberlakukan pada awal 2013. Dia juga memperkirakan penurunan pertumbuhan industri ini bahkan akan berlangsung dalam 1 tahun-2 tahun.
“Setelah industri smelter tumbuh, pertumbuhan industri akan jauh meningkat. Kami sudah meng hitung efeknya,” kata Hidayat.
Selain itu, kondisi makroekonomi seperti fluktuasi rupiah terhadap dolar AS juga menjadi penyebab pe nurunan pertumbuhan industri nonmigas. Terlebih, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I/2014 ini juga hanya tumbuh 5,21% (yoy). Kemudian, kenaikan harga enegri seperti harga gas dan tarif listrik juga menjadi pendorong penurunan ini.
“Menurut Menteri Keuangan, ini biarkan saja terjadi dalam 1 tahun-2 tahun dan harus dilalui. Buat Kemenkeu bagus karena defisit anggaran tidak terlalu besar, sudah surplus. Kami juga diminta menanggung risiko,” tutur Hidayat.
“Pertumbuhan industri nonmigas pada awal dan akhir tahun selalu landai. Target kami sekarang, tetap di atas pertumbuhan nasional dan sedikit di bawah 6%. Kalau kami katakan 6% dibilang terlalu optimistis nanti.”
Gejala Sejak Lama
Terlepas dari pro dan kontra deindustrialisasi, sebenarnya tema besar ‘deindustrialisasi’ sudah lama terdengar di Indonesia. Dilihat dari sejarahnya, sejak krisis moneter di Asia 1997-1998, gejala deindustrialisasi dinilai mulai tampak.
Pada 2004, Bank Dunia melansir bahwa sejak 2003 daya saing Indonesia dalam pergumulan industri antar-bangsa yang memperlihatkan adanya anomali. Di satu sisi, terjadi peningkatan daya saing ekspor komoditas Indonesia di pasar dunia. Tetapi di lain sisi, industri tekstil dan sepatu di Indonesia banyak yang gulung tikar saat itu. Padahal, dua industri ini merupakan salah satu variabel penentu kemampuan Indonesia menembus pasar ekspor.
Fakta itu memicu asumsi bahwa periode 1997-2004 Indonesia dihadapkan dengan problema pergeseran orientasi ekspor, dari yang sebelumnya bertumpu pada manufaktur menjadi terfokus pada komoditas primer.
Peristiwa besar selanjutnya adalah krisis moneter global 2007-2008 yang sempat membuat industri nasional limbung. Dan terakhir, pemberlakuan ACFTA pada 2010 semakin menyulitkan peran industri manufaktur terhadap perekonomian nasional. Membanjirnya produk impor dari China di sejumlah sektor industri (mainan anak, tekstil, elektronik, sepatu, makanan minuman) dituding memperarah gejala deindustrialisasi di Indonesia.
Istilah populer
Dalam peristilahan yang sangat populer, deindustrialisasi dilukiskan sebagai ‘the decline in the contribution made by manufacturing industry to a nation’s overall economic prosperity’. Deindustrialisasi merupakan kenyataan yang sangat keras tatkala industri manufaktur sudah tak lagi mampu berperan sebagai basis terciptanya kemakmuran suatu bangsa.
Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, serta-merta industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi.
Dampak lanjutannya, pengangguran tampil sebagai realitas paling mengerikan dari deindustrialisasi, yaitu akibat kian lumpuhnya industri manufaktur berperan sebagai penyedia lapangan kerja. Apa yang penting diungkapkan di sini adalah ini: setiap negara sesungguhnya rentan terhadap ancaman deindustrialisasi.
Hanya saja, lahirnya terobosan-terobosan cerdas memungkinkan terjadinya re-industrialisasi. Ini semua terkait dengan genealogi persoalan bahwa industrialisasi bermula dari berlangsungnya transformasi untuk membawa masuk sektor primer ke dalam proses lebih lanjut (hilir) dalam kerangka industri manufaktur. Sebab, industri hilir lebih memberikan nilai tambah yang besar bagi penyerapan tenaga kerja, devisa ekspor, serta manfaat lainnya.
Tanpa dukungan
Sebenarnya upaya pemerintah menggaungkan konsep ‘hilirisasi’ (pengembangan terarah industri hilir sumber daya alam) cukup tepat diterapkan mulai 2011 untuk melawan gejala deindustrialisasi. Namun, konsep itu baru di atas kertas, tanpa dukungan yang memadai. Rencana penerapan tax holiday yang diharapkan bisa mendongkrak investasi di industri hilir masih menggantung.
Di sisi lain, industri justru dihadapkan pada hambatan klasik yang makin kronis, seperti infrastruktur minim, keterbatasan listrik, defisit pasokan gas, kongesti di pelabuhan.
Ketua Kadin Indonesia Bambang Sulisto merekomendasikan pemerintah mempercepat pembenahan hambatan iklim industri di Indonesia. “Kalau iklim di sini semakin berat, sulit dan semakin tidak kompetitif, justru dengan sendirinya akan terjadi deindustrialisasi,” ujarnya.
Kadin berharap pemerintah dapat menjaga iklim industri dan mendukung sepenuhnya pertumbuhan industri manufaktur nasional. “Sisi produksi harus diperkuat dan jangan sampai terjadi deindustrialisasi. Itu semua menjadi pemikiran Kadin,” tuturnya.(Tim redaksi 01/berbagai sumber, diolah redaksi duniaindustri.com)