Latest News
You are here: Home | Agroindustri | Perseteruan Green Peace vs Gapki Makin Meruncing
Perseteruan Green Peace vs Gapki Makin Meruncing

Perseteruan Green Peace vs Gapki Makin Meruncing

Duniaindustri (Mei 2011) – Perseteruan antara Green Peace dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) makin meruncing dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Green Peace Asia Tenggara mendukung inpres tersebut, sedangkan Gapki meminta penundaan karena dikhawatirkan menghambat ekspansi lahan produsen sawit Indonesia. Konflik ‘politis’ antara kedua lembaga itu sebenarnya sudah merebak sejak tahun lalu.

Pada 2010, kampanye hitam dari NGO Eropa antara lain Green Peace ditujukan kepada salah satu produsen CPO nasional yakni Sinar Mas Group. Dalam laporannya, Green Peace menyebutkan produk sawit dari Indonesia mendorong kehancuran hutan dan lahan gambut di Asia Tenggara.

Kampanye Green Peace itu memang efektif, membuat pabrikan consumer goods seperti Nestle, Unilever, dan Burger King mengkaji ulang pembelian minyak sawit mentah dari Sinar Mas Group. Tak heran, Gapki langsung menyatakan ‘perang’ melawan kampanye hitam NGO asing.

Saat ini, perseteruan kedua lembaga itu kian menghangat lagi. Juru kampanye hutan Green Peace Asia Tenggara, Bustar Maitar, mendukung terbitnya Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Green Peace menilai inpres itu merepresentasikan perubahan politis menuju upaya perlindungan hutan Indonesia. Bustar dalam siaran pers Green Peace menerangkan, Green Peace mendukung upaya pemerintah Indonesia meski hanya hutan primer dan sebagian kecil areal gambut yang tercakup dalam moratorium. “Namun puluhan juta hektar hutan Indonesia masih tetap akan dihancurkan,” katanya.

Menurut analisis peta yang dilakukan oleh Green Peace, 104,8 juta hektar hutan Indonesia seharusnya tercakup dalam moratorium tersebut. “Dengan komitmen moratorium sebesar 64 juta hektar, itu berarti masih ada 39% (sekitar 40 juta hektare) hutan Indonesia yang akan dihancurkan,” kutip Bustar dalam siaran persnya.

Sedangkan Gapki menyesalkan terbitnya Inpres Nomor 10 tahun 2011, karena tidak mengakomodasi kepentingan dunia usaha. Dalam inpres itu disebutkan, pemerintah melarang pemanfaatan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas dua juta hektare di lahan gambut. “Kalau demikian, di mana lagi pengusaha dan petani akan mengembangkan perkebunan,” kata Sekjen Gapki Joko Supriyono.

Menurut dia, pemerintah tidak mengakomodasi usulan pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam pembuatan inpres tersebut. “Keputusan ini sangat merugikan kepentingan pengusaha dan petani di Tanah Air,” ujarnya.(Tim redaksi 03)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top