Duniaindustri.com (September 2015) -Perusahaan sawit dinilai selalu menjadi korban kasus kebakaran lahan dan hutan. Karena itu, sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk menerapkan pembuktian menyeluruh ketika menetapkan sejumlah perusahaan sawit menjadi tersangka kasus kebakaran lahan.
Hal itu ditegaskan Direktur Eksektutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menanggapi dampak kasus kebakaran lahan dan hutan. “Kebakaran lahan dan hutan ini merugikan semua pihak. Ini yang harus disadari,” paparnya.
Menurut dia, kebakaran lahan dan hutan disebabkan akumulasi sejumlah faktor, antara lain regulasi yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara dibakar, masalah dalam tata kelola hutan negara, serta dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. “Setidaknya ada dua regulasi yang tidak relevan lagi, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 yang membolehkan masyarakat membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan aturan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan,” ujarnya.
Menurut dia, kedua aturan tersebut harus direvisi agar pencegahan kebakaran hutan menjadi efektif dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Dengan adanya UU No 32 tahun 2009, warga diperbolehkan membakar lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare. “Ini kan keliru, peraturan ini yang menjadi salah satu faktor pemicu utama kebakaran lahan saat ini,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, kebakaran lahan dan hutan juga terjadi karena terjadi masalah dalam tata kelola hutan negara. Patut diduga kebakaran hutan negara merambat ke lahan-lahan perkebunan dan sulit dipadamkan. “Kebakaran hutan negara lebih luas dan ini menimbulkan kerugian besar,” tuturnya.
Tungkot menilai, asap hasil kebakaran hutan dan lahan dapat menurunkan produktivitas kebun sawit. “Jadi sangat bodoh jika perusahaan sawit sengaja membakar untuk membuka lahan. Kerugiannya lebih besar,” ucapnya.
Karena itu, Tungkot meminta Presiden dan Menteri terkait untuk melakukan penyelidikan secara komprehensif terkait penetapan tersangka sejumlah perusahaan sawit yang diduga sebagai pemicu kebakaran lahan. “Harus dibuktikan dalam proses yang benar, apakah perusahaan sawit itu jadi pelaku atau korban kebakaran,” ujarnya.
Dia juga menyayangkan jika pemerintah bertindak terlalu cepat dalam menetapkan tersangka tanpa proses pembuktian yang benar. “Harus pembuktian secara hukum. Yang menetapkan pencabutan izin juga harus melalui pembuktian secara hukum,” ucapnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Nana Suparna juga menilai kebakaran tersebut tidak mungkin dilakukan oleh pihak perusahaan. Dia menduga, kebakaran tersebut berasal dari rembetan dari areal non perusahaan yang terbakar.
Apalagi, menurut dia, makin banyak warga pendatang yang masuk ke daerah pedalaman untuk membuka lahan, baik untuk perkebunan maupun budidaya tanaman pangan. “Kalau mereka membakar lahan, siapa yang bisa jamin sekat bakarnya berfungsi dengan baik? Kan di pedalaman tidak ada petugas yang mengawasi,” kata Nana.
Karena itu APHI dan sejumlah pengamat juga mendesak pemerintah merevisi dua aturan yang bisa memicu kebakaran lahan. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) juga menilai sedikitnya ada dua peraturan pemerintah yang kurang efektif dan justru memicu kasus kebakaran lahan. Kedua aturan tersebut harus direvisi agar upaya pencegahan kebakaran lahan menjadi optimal.
Suwardi, Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), menilai kebakaran lahan yang terjadi saat ini disebabkan karena dua peraturan pemerintah yang kurang efektif. “Setidaknya ada dua peraturan pemerintah yang kurang efektif, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 yang membolehkan masyarakat membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan aturan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan,” ujarnya.
Dengan adanya aturan tersebut, lanjut Suwardi, warga yang memiliki tanah luas dengan mudah membagi lahannya maksimal 2 hektare untuk memudahkan pembukaan lahan dengan cara dibakar. “Dampaknya, kebakaran kecil di lahan warga dengan mudah menjalar ke lahan lain tanpa bisa dipadamkan,” tuturnya.
Selain itu, Suwardi menilai, aturan pelarangan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan dalam UU kehutanan juga ikut memicu kebakaran lahan. Warga dengan peralatan yang minim akan dengan gampang membakar kayu-kayu hasil penebangan dalam rangka pembukaan lahan. “Daripada harus menyewa alat berat, kayu hasil penebangan dibakar saja oleh warga, karena toh tidak bisa digunakan. Kalau dimanfaatkan bisa terkena aturan illegal logging. Ini yang harus diubah,” ucapnya.
Suwardi mendesak pemerintah segera merevisi dua aturan tersebut untuk mencegah kasus kebakaran lahan terulang lagi dan dirasakan dampaknya sampai ke negara tetangga. Pemerintah sudah semestinya mencari akar permasalahan agar bisa dibenahi, bukan hanya mencari pelakunya. “Banyak tudingan menyatakan kebakaran lahan dilakukan oleh industri perkebunan. Itu tudingan miring karena sebelum industri perkebunan berkembang, kasus kebakaran lahan sudah terjadi terutama pada musim kemarau panjang sejak 1970-an,” paparnya.
Dalam penjelasan Pasal 69 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembakaran lahan diperbolehkan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan harus dikelilingi sekat bakar. Mengacu pada aturan tersebut, masyarakat masih diperbolehkan untuk membakar lahan, walaupun maksimal hanya dua hektare.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: