JAKARTA – Kementerian Perindustrian akan mengharmonisasikan tarif bea masuk industri tekstil dari hulu ke hilir untuk menghadapi lonjakan produk impor yang berpotensi mematikan industri nasional. Menteri Perindustrian MS Hidayat juga berjanji akan memperkuat industri hulu tekstil untuk mendukung perkembangan sektor hilirnya.
“Memang sektor hulu dan hilir tekstil harus diharmonisasikan. Kami sedang merancang roadmap untuk mengharmonisasikan tarif bea masuk hulu dan hilir tekstil. Tidak bisa hanya fokus di hilir, tapi hulu tekstil juga harus diperkuat,” ujar MS Hidayat.
Pernyataan Menperin tersebut juga mengisyaratkan dukungan terhadap upaya untuk melindungi sektor hulu tekstil di Indonesia dari serangan produk impor. Kementerian Perindustrian mendukung segala upaya untuk memaksimalkan penggunaan bahan baku dalam negeri termasuk pada kasus tiga jenis benang filament yang saat ini tengah diselidiki Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) untuk impor tiga jenis benang filamen diharapkan bisa menurunkan impor sehingga negeri ini bisa menjaga neraca perdagangan khususnya di sektor industri manufaktur.
Sebelumnya, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) telah mengeluarkan hasil penyelidikan sementara dimana ditemukan praktik perdagangan curang (dumping) yang dilakukan eksportir asal Republik Rakyat Tiongkok, Korea Selatan, Malaysia, India, Taiwan dan Thailand dengan margin damping sebesar 0-17,45%. KADI pun menemukan adanya kerugian material yang menyebabkan injury pada perusahaan pemohon dimana injury ini berhubungan sebab akibat (causal link) dengan praktik dumping yang dilakukan eksportir dinegara-negara tersebut.
Terkait anti dumping 3 jenis benang filament yang akan diterapkan, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat mengatakan bahwa pihaknya masih membutuhkan impor untuk menjaga kinerja sehingga menolak jika 3 jenis benang tersebut dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD). “Benang yang kita impor adalah benang khusus yang tidak bisa diproduksi didalam negeri selain itu produksi dalam negeri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” jelas Ade.
Namun hal ini dibantah oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta yang mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan anggotanya sudah dapat memproduksi benang-benang khusus yang selama ini diimpor. “Teknologi yang digunakan diseluruh dunia sama, know-how juga berada pada level yang sama, jadi apapun jenis benang khusus yang diproduksi diluar kita bisa memproduksinya” jelas Redma. “Tapi kalau harganya harus ikut harga impor yang sudah terbukti dumping, kita pasti tidak bisa jual, masa mau jual rugi terus,” tegasnya.
Terkait dengan kapasitas produksi, Redma menjelaskan bahwa tingkat utilisasi SDY 63%, DTY 78% dan POY 73%. “Tidak benar kalau kapasitas kita tidak cukup, justru praktik impor dengan harga dumping ini yang menyebabkan tingkat utiliasi kita terus turun, karena market share kita dipasar domestik juga turun, dan hal ini sudah dalam lingkup investegasi, sehingga KADI bisa menyimpulkan adanya causal link,” tegasnya.
Redma menambahkan bahwa semua yang dikeluhkan oleh industri hilir melalui API sudah berada dalam lingkup penyelidikan KADI, sehingga tidak ada hal yang bisa menghalangi KADI untuk menerapkan BMAD. Untuk itu APSyFI mendukung KADI dan Pemerintah untuk segera menerapkan BMAD 3 jenis produk benang ini. “Kita harus bantu negara untuk menjaga neraca perdagangan dengan memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri,” pungkasnya.(*)