Duniaindustri.com (Oktober 2015) – Industri perbankan mewaspadai kenaikan risiko kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) terutama kredit kepada korporasi. Berdasarkan Survei Perbankan yang dipublikasikan Bank Indonesia, industri perbankan mewaspadai terjadinya kenaikan risiko kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) tertutama kredit kepada korporasi meskipun masih dalam keadaan normal yakni kurang 5%.
Pada Agustus 2015, NPL kredit modal kerja dan kredit investasi masing-masing tercatat sebesar 3,2% dan 2,91%. Terjadi kenaikan masing-masing sebesar 0,25% dan 0,21% dari Juni 2015.
Berdasarkan sektor ekonomi, NPL tertinggi di sektor konstruksi sebesar 5,46%. Lalu diikuti sektor jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan dan lainnya sebesar 4,46%.
Setelah sektor perdagangan besar dan dan eceran 4,11%, sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 3,72%, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 3,71%.
Sebelumnya, depresiasi tajam rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga menembus Rp 14.900 ternyata ikut mempengaruhi kondisi industri perbankan di Indonesia. Analis mengkhawatirkan depresiasi tajam rupiah akan membuat likuiditas industri perbankan makin ketat yang diperparah dengan naiknya kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Kondisi itu dapat menggerus profitabilitas dan solvabilitas industri perbankan di Indonesia.
Analis pasar uang dari LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo mengatakan, dengan depresiasi rupiah saat ini bank dalam kondisi koma. “Bank sudah lampu merah karena kemampuan bank Rp 13.500 itu dalam kondisi koma itu,” ujarnya.
Lucky menjelaskan, dampak negatif dari pelemahan rupiah cukup besar. Sebab, rupiah telah melampaui batas psikologisnya sebesar Rp 13.500 per dolar AS. Dan itu merupakan sinyal pelemahan rupiah lebih lanjut untuk menuju level Rp 13.850 per dolar AS.
Lucky menilai, kondisi ini harus diantisipiasi khususnya sektor perbankan karera mayoritas dengan pelemahan rupiah membuat dolar mendominasi. “Dengan adanya dominasi ini membuat turunnya likuiditas perbankan karena rupiah jarang diapresiasi dan lebih minim beredar,” imbuhnya.
Dengan situasi seperti ini, lanjutnya, dikhawatirkan rasio kredit macet (NPL) semakin tinggi sehingga bahayakan kinerja bank. Sebab, banyak orang yang mengambil kredit tapi tidak punya kemampuan untuk membayar sesuai jatuh tempo.
Menurutnya, dampak pelemahan rupiah terhadap industri perbankan dapat dilihat ketika laporan kuartal berikutnya dimana kinerja kuartal kedua tahun ini tidak cukup baik. Mengingat suku bunga cukup tinggi dan angka inflasi tertinggi dalam enam tahun terakhir.
31 Konglomerasi Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan, sebanyak 70% aset keuangan yang ada di Indonesia dikuasai oleh konglomerasi keuangan.
Kepala Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK, Boedi Armanto, mengatakan 70% aset tersebut dikuasai oleh sebanyak 31 konglomerasi keuangan yang sebagian besar berasal dari industri perbankan. “Kalau dilihat, 31 korporasi tersebut mostly dari banking,” ujar dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini OJK telah melakukan identifikasi terhadap konglomerasi keuangan tersebut, yang selama ini sifatnya lintas sektor.
Menurutnya, dari 31 konglomerasi keuangan tersebut, sebanyak 10 konglomerasi berbentuk vertical group, 13 konglomerasi berbentuk horizontal group, dan 8 konglomerasi berbentuk mixed group. “Dari 31 itu bisa bertambah, kedepannya justru akan bertambah,” tambahnya.
Boedi mengatakan, saat ini pihaknya Masih terus melakukan identifikasi terutama untuk konglomerasi keuangan yang berada pada satu sektor, seperti konglomerasi keuangan di perbankan, IKNB, ataupun Pasar Modal.
“Identifikasi masih terus kami lakukan. 31 konglomerasi itu memiliki kegiatan baik di perbankan, IKNB, maupun pasar modal,” tandasnya.
OJK sebelumnya berencana membentuk aturan khusus terkait pengawasan konglomerasi perbankan. Mengingat secara signifikan, total aset perbankan di industri keuangan saat ini sudah menembus angka Rp4.700 triliun.
“Perbankan yang menjadi salah satu bagian dari grup usaha, kalau kami lihat signifikansinya besar. Pasti akan kami bentuk suatu pengawasan secara khusus,” ujar Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Perbankan, Nelson Tampubolon.
Nelson menegaskan, pentingnya pengaturan secara khusus terhadap industri perbankan, terutama pada bank beraset besar, diharapkan bisa menghindari tertularnya induk perusahaan dari permasalahan yang terjadi pada anak usaha.
“Misalnya saat ini saja, total aset perbankan atau per Desember 2013, sudah sekitar Rp4.700-an trilun,” tukasnya.
Menurutnya, sampai saat ini ada 16 konglomerasi bank yang menguasai 60% aset perbankan. “Jika terkait dengan grup usaha yang melibatkan bank, maka saat ini ada 20 bank. Tetapi, yang kami anggap signifikan pengaruhnya terhadap industri keuangan adalah yang 16 bank itu,” ucap Nelson.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad pernah mengatakan, bahwa pihaknya akan memulai untuk melakukan pengawasan konglomerasi lembaga jasa keuangan pada kuartal ketiga tahun ini. Pengawasan konglomerasi akan diawali pada sektor keuangan yang induk usahanya adalah bank.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: