Duniaindustri.com (Mei 2016) – Perbaikan struktur ekonomi nasional dari basis komoditas (commodity based) menjadi industri dinilai akan memacu investasi masuk ke negeri ini. Bank Indonesia menyatakan Indonesia menjadi negara peringkat kedua dengan tujuan investasi terfavorit setelah Tiongkok yang dinilai oleh berbagai lembaga survei dunia.
“Per Januari ini, Indonesia adalah negara tujuan investasi nomor dua terfavorit setelah Tiongkok. Kalau tidak Tiongkok, India, pasti pilihannya Indonesia. Paling tidak kita pasti berada di antara Tiongkok dan India,” kata Manajer Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Oikos Mando Panjaitan.
Mando mengatakan salah satu indikator menjadi negara dengan tujuan investasi adalah realisasi investasi Indonesia yang naik sekitar 15% dari tahun lalu diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang juga meningkat. Selain itu, penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun lalu juga meningkat masing-masing di atas 10%.
Secara global, tingkat kompetitif Indonesia terus meningkat dibandingkan India, Brasil dan Vietnam. Dia menyebut World Economy Forum (WEF) menilai performa Indonesia membaik dari segi tingkat penegakan korupsi yang semakin kencang, kemudahan berusaha yang membaik serta investasi langsung yang masuk meningkat cukup tajam.
Ada pun faktor yang membuat Indonesia semakin menarik dinilai oleh global sebagai tujuan investasi adalah perubahan struktural oleh pemerintah dan otoritas terkait, sehingga membuat keyakinan internasional semakin berkembang.
Reformasi anggaran (budget reform) juga dinilai positif yang didukung dengan peningkatan biaya infrastruktur. “Yang dinilai positif juga bahwa kita mengalami budget reform yang konsisten, menurunkan subsidi dan meningkatkan biaya infrastruktur. Ini yang membuat dunia internasional berkeyakinan bahwa Indonesia punya prospek yang baik ke depan,” ujar Mando.
Pergeseran Dana
Fund global (investor skala besar pengelola dana) cenderung menggeser (switching) penempatan dana dari pasar China dan Jepang yang terus bergejolak, ke negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Thailand. Hal itu terlihat dari penguatan (apresiasi) nilai tukar mata uang di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti rupiah dari Indonesia menguat 5,4% sepanjang tahun ini (year to date).
Pengelola aset global menilai Asia Tenggara saat ini menjadi lokasi investasi paling aman dari volatilitas (safe haven), seiring akselerasi ekonomi yang masih berjalan. Secara khusus, tahun ini Indonesia dan Thailand menjadi negara penarik limpahan dana terbesar yang berpindah dari China, dibandingkan pasar saham negara lain di Asia.
Tercatat, tahun ini kedua negara menikmati titik balik dari posisi 2015, ketika indeks acuan di Jakarta dan Bangkok anjlok lebih dari 12% di tengah melorotnya nilai rupiah dan baht. “Mata uang yang stabil membantu memulihkan kepercayaan di pasar saham,” ujar Alan Richardson dari Samsung Asset Management Ltd yang berbasis di Hong Kong, seperti dilansir Bloomberg, Selasa (8/3).
“Investor menuju Asia Tenggara karena mereka sudah kecewa dengan kinerja Cina. Tidak banyak peluang di Asia.”
Richardson menambahkan, pihaknya telah membeli saham perusahaan media di Indonesia sebagai proxy sari saham-saham konsumer yang melambung tinggi. Sebagai gambaran, banyak investor mengincar perusahaan media karena berharap dari belanja iklan menyusul bersinarnya sektor konsumen. Adapun untuk membeli saham sektor konsumen harganya sudah terlanjur mahal sehingga mereka beralih ke media untuk ikut menikmati belanja iklan dari sektor konsumen.
Hal itu tentunya membantu memikat dana asing ke Indonesia dan Thailand, dua dari tiga negara yang mencatat arus masuk bersih tahun ini di antara delapan pasar Asia yang dilacak oleh Bloomberg. Sekitar US$ 327 juta mengalir ke saham Indonesia dan US$ 169 juta masuk ke saham Thailand. Indeks SET Thailand naik 8,4% tahun ini. Sedangkan IHSG menyeruak dari posisi bearish dan naik 17% dari titik terendah pada September tahun lalu.
Seiring dengan itu, nilai tukar rupiah terapresiasi 5,4% tahun ini, sementara ringgit Malaysia menguat 4,8%, dan baht Thailand naik 1,9 persen. Padahal, pada Oktober 2015, volatilitas 30 hari untuk rupiah melompat ke titik tertinggi lima tahun dan baht tertinggi dua tahun.
Aset Asia Tenggara pulih dan menjadi stabil setelah Chairwoman The Fed, Janet Yellen, mengindikasikan awal Februari bahwa pihaknya tidak akan terburu-buru melanjutkan kenaikan suku bunga karena turbulensi di pasar global.
Di pihak lain, Goldman Sachs Group Inc telah merilis perkiraan negara-negara Asean akan mencatat pertumbuhan ekonomi 4,5% tahun ini, berbanding 2% di AS, 1,5% di Zona Euro, serta 0,7% di Jepang.
“Asia Tenggara kurang dipengaruhi semua kekhawatiran eksternal karena ekonomi mereka yang jauh lebih berorientasi domestik,” kata Mixo Das, analis di Nomura Holdings Inc di Singapura. “Kisah ekonomi makro untuk Asia Tenggara relatif lebih baik daripada tempat lain.”(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: