Duniaindustri.com (September 2015) – Pemerintah akan mengembang empat Kawasan Pusat Logistik Berikat sebagai gudang atau pusat logistik yang menampung distribusi barang-barang ekspor dan impor. Keempat kawasan itu ditetapkan di daerah Cikarang Jababeka untuk komoditas kapas dan susu, daerah Merak Banten untuk bunker minyak/oil storage, Kalimantan Timur untuk bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi cair (LNG), serta Sei Mangkei Sumatera Utara untuk komoditas oleochemicals.
Kawasan pusat logistik berikat sebelumnya bernama kawasan berikat. Hal ini sebagaimana tertuang dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2009 terkait dengan pusat logistik berikat.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan selama ini aturan tersebut dinilai tidak memudahkan distribusi arus barang utamanya berupa bahan baku yang masuk ke Indonesia.
“Pusat logistik berikat untuk bangun fasilitas industri dan perdagangan yang efisien karena lebih dekat dengan kegiatan ekonomi, dan juga untuk menurunkan biaya logistik. (Sebab), kita selalu mengeluh biaya logistik mahal,” kata Darmin.
Darmin mengatakan, selama ini hasil kekayaan bumi Indonesia banyak yang disimpan di Singapura, karena memiliki gudang logistik yang besar. Selain itu, produk-produk impor Indonesia seperti kapas pun banyak yang disimpan di Negeri Singa tersebut, sehingga membuat tambahan biaya distribusi.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, selain kapas ada juga komoditas lainnya seperti gas, pipa, rig (mesin pengeboran), susu dan yang paling besar yakni minyak, banyak ditimbun di Singapura.
“Kalau dulu dengan konsep gudang berikat dengan kita menyimpan BBM di Bunker laut Jawa misalkan, saat butuh minyaknya, dari bunker itu harus diekspor dulu ke Singapura, baru diimpor oleh Indonesia karena aturan gudang berikat,” terangnya.
Sekarang dengan adanya relaksasi ini, jelas Bambang, jika membutuhkan minyak, bunker bisa langsung menjual ke Indonesia dengan menggunakan patokan harga Indonesia tanpa mengikuti harga jual berdasarkan Mean of Platts Singapore(MOPS). Atau dengan kata lain, Pertamina juga tidak perlu lagi membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) sesuai harga MOPS.
“Intinya kita akan mempermudah kawasan ini supaya tidak ada lagi yang namanya oil storage itu di Singapura. Oil storage itu harus dekat dengan pasarnya. Pasarnya di ASEAN itu jelas di Indonesia, pemakai BBM terbesar. Jadi kita akan tarik oil storage dan pusat logistik lainnya dari negara lain ke Indonesia. Dan kita akan mudahkan dengan revisi PP 32 terkait pusat logistik berikat,” tegasnya.
Pemerintah juga membuka kesempatan kepada investor asing untuk menjadi pengelola Kawasan Pusat Logistik Berikat yang khusus menampung komoditi minyak dan gas di daerah Tanjung Batu, Balikpapan, Kalimantan Timur. Saat ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai otoritas kepabeanan tengah melakukan seleksi atas sejumlah proposal yang masuk.
“Siapa saja boleh masuk, termasuk asing,” ujar Deputi Bidang Kebijakan Fiskal dan Moneter Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus.
Bobby mengungkapkan sudah ada beberapa investor yang mendaftarkan diri ke DJBC untuk menjadi pengelola kawasan tersebut. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, perusahaan-perusahaan yang mengajukan proposal ke DJBC bergerak di berbagai bidang usaha seperti logistik, perusahaan produksi, dan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan minyak.
Pemerintah menurutnya menunggu DJBC menyelesaikan rekomendasi atas tawaran kerjasama yang masuk dalam menetapkan investor yang akan diminta mengelola kawasan tersebut nantinya. Sambil menunggu evaluasi dilakukan, Pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat.
Penentuan lokasi Kawasan Pusat Logistik Berikat sendiri dipilih berdasarkan aspirasi dari para investor yang menginginkan pusat bahan baku dekat dengan dengan kegiatan ekonomi sehingga bisa menurunkan biaya logistik.
Dalam PP Nomor 32 tahun 2009 sebelumnya penetapan lokasi kawasan berikat ditentukan oleh pemerintah. Namun banyak investor yang menilainya kurang atraktif.
“Oleh karena itu pemerintah merevisi PP Nomor 32 itu dengan memberi fasilitas lebih banyak dan diusahakan terintegrasi antara pajak dan kepabeanan,” ujar Bobby.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: