Duniaindustri.com (September 2015) – Pemerintah melalui Menteri Keuangan mendorong masyarakat kelas menengah yang memiliki simpanan memasukkan dana investasi ke surat utang negara (SUN). Hal itu dilakukan agar ekonomi Indonesia tidak mudah bergejolak oleh faktor eksternal.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan seharusnya paling tidak 50% kelas menengah Indonesia melakukan investasi di surat utang negara (SUN), sehingga ekonomi Indonesia tidak mudah bergejolak oleh faktor eksternal.
Bambang berpendapat dengan kondisi perekonomian global yang penuh ketidakpastian dan mempengaruhi pasar keuangan saat ini, perlu pendalaman pasar di pasar obligasi negara dan porsi kepemilikan domestik harus bisa lebih besar ketimbang asing.
“Yang penting (perlu diperhatikan) adalah kondisi sekarang investor domestik kita masih jauh di bawah potensinya. Karena risk appetite-nya masih terbatas. Kalau jumlah ideal, gampangnya kami berharap lebuh dari 50% kelas menengah kita berani masuk investasi di luar perbankan,” kata Bambang.
Tentu saja, lanjutnya, untuk ukuran yang benar-benar ideal antara kepemilikan asing dan domestik di obligasi negara adalah seperti halnya porsi di Jepang. Di Jepang, kata Bambang, asing hanya memegang 9% dari surat utang yang diterbitkan pemerintah, sedangnya sisanya dipegang oleh masyarakatnya sendiri.
“Idealnya berapa (porsi kepemilikan DBN asing dan domestik)? Ya lihat Jepang. Kenapa dia berani utang besar? Ya karena pinjamannya sudah masuk rumah tangga individu. Jadi dia tidak takut (terjadi) sudden reversal karena (surat utangnya) sudah dipegang masyarakatnya,” jelasnya.
Berbeda dengan Indonesia, tambah Bambang, kepemilikan asing rata-rata mencapai sekitar 38% dan sisanya sebanyak 62% yang dimiliki masyarakat. Sehingga ketika terjadi tekanan dari eksternal, pasar mudah mengalami gejolak.
Tabungan di Singapura
Sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Budi G Sadikin mengatakan, jumlah uang orang Indonesia yang dititipkan di bank di Singapura semakin besar. Dana orang-orang kaya Indonesia secara individu sebanyak US$ 150 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun. “Itu hampir sama dengan APBN Indonesia tahun lalu,” kata dia.
Itu pun, lanjut Budi, belum termasuk tabungan korporasi atau perusahaan. Budi menjelaskan, jika ditambahkan dengan nasabah korporasi, maka nilainya mencapai sekitar US$ 300 miliar atau lebih dari Rp 3.000 triliun. “Itu sama dengan total DPK (dana pihak ketiga) perbankan Indonesia. Itu menunjukkan skala yang besar sekali,” ujar dia.
Menurut Budi, jika dana tersebut bisa ditarik ke Indonesia, maka akan sangat membantu mendukung pertumbuhan ekonomi dan kredit nasional. Namun, Budi bilang, orang-orang kaya lebih senang menyimpan uang di Singapura karena di Indonesia terbentur masalah legal dan pajak.
“Kalau kita lakukan apapun, tapi kita enggak perbaiki legal system dan pajak, kita enggak kompetitif. Pasti mereka akan keluar. Tapi ada yang bisa dilakukan, yakni kita menghimbau yang memiliki dana di luar negeri (kembali ke sini),” papar Budi.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: