Duniaindustri.com (Oktober 2015) – Setelah deklarasi Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) dinilai merugikan kepentingan petani kelapa sawit, sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk memanggil manajemen dan deklarator IPOP. Desakan itu bertujuan untuk membekukan aturan dalam IPOP seiring upaya pemerintah mencari solusi terbaik bagi kepentingan nasional.
Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani menjelaskan standar dan aturan yang dibuat dalam IPOP jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. “Pemerintah harus ambil langkah tegas terhadap IPOP. Jika perlu, panggil manajemen dan deklarator IPOP,” paparnya.
Dia menilai terjadi perbedaan persepsi yang mendasar terkait standar atau kriteria IPOP dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Dia mencontohkan, dalam IPOP dilarang menampung tandan buah segar (TBS) atau CPO dari kebun sawit hasil deforestasi maupun dari lahan gambut. “Nah deforestasi ini kan beda persepsinya. Dalam IPOP tidak dibolehkan, tapi tidak mungkin Indonesia kembangkan sawit tanpa mengkonversi hutan, beda pandangan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Achmad, sawit dari lahan gambut diperbolehkan di aturan di Indonesia jika batas ketinggiannya 3 meter. Sementara di IPOP dilarang. “Ini yang harus dicari solusi bersama demi kepentingan petani sawit,” paparnya.
Achmad juga menggarisbawahi pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang berencana menunda pemberlakuan IPOP jika terbukti mengesampingkan kepentingan petani sawit. “Deklarasi IPOP harus memperhatikan kepentingan petani sawit, tidak boleh petani dikesampingkan,” ujar Amran saat ditanya pelaksanaan deklarasi IPOP.
Karena itu, lanjut dia, deklarasi IPOP harus melihat kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan nasional. “Intinya harus memperhatikan kepentingan petani sawit. Itu prinsip dasarnya,” ucapnya.
Menurut dia, para dirjen di Kementerian Pertanian (Kementan) sedang membahas intensif terkait deklarasi IPOP yang dapat merugikan kepentingan petani sawit di Indonesia.
Desakan kepada pemerintah untuk memanggil manajemen dan deklarator IPOP juga disampaikan pemilik PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah. Dia menilai bukan hanya perlu dipanggil, pemerintah juga perlu memberikan ketegasan agar tidak terjadi tumpang tindih aturan yang bisa merugikan kepentingan petani kelapa sawit.
“Pemerintah harus membuat pernyataan tegas bahwa IPOP tidak berlaku di Indonesia. Para stakeholders industri sawit menanti hal ini, kepastian pembekuan IPOP,” paparnya.
Menurut dia, arah kebijakan pemerintah itu sudah terlihat dari pernyataan Mentan Amran Sulaiman, Deputi Menko Perekonomian Bidang Perkebunan dan Hortikultura Musdhalifah Machmud, dan Sekjen Kementerian Kehutanan.
“Stakeholders industri kelapa sawit hanya tunduk kepada pemerintah, bukan lembaga yang menjadi boneka kepentingan asing,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad juga menilai IPOP telah merugikan kepentingan petani sawit. “Sebab ini dampaknya sudah luar biasa. TBS petani di Aceh dan Padang Lawas (Sumatera Utara) tidak bisa masuk Wilmar lagi,” kata Asmar.
Lantaran tidak terserap di perusahaan besar itu, maka TBS petani itu dijual ke pabrik kelapa sawit (PKS) kecil untuk pasar lokal. “Ironisnya TBS tersebut dihargai sangat murah,” kata Asmar.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus tegas terhadap deklarasi IPOP. Dia menilai The Big Five Company yang menandatangani kesepakatan IPOP itu ditekan asing sehingga mereka tidak mau lagi membeli TBS petani.
Dampak buruk penerapan IPOP tidak hanya dirasakan petani saja. PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) yang memiliki kebun sawit di Kalteng juga menjadi korban penerapan IPOP ini. “Kami juga kena,” ujar Senior Head Corporate Finance and Government Relation PT Sawit Sumbermas Sarana, Sunggu Situmorang.
Sebagai perusahaan yang sedang berkembang, Sawit Sumbermas melalui anak usahanya melakukan ekspansi penanaman kelapa sawit di lahan yang dimilikinya. Namun ekspansi tersebut dinyatakan melanggar aturan IPOP. “Padahal tidak ada satupun aturan pemerintah yang kami langgar. Pembukaan lahan kami telah sesuai prosedur. Aturan IPOP harusnya tidak boleh diterapkan di Indonesia, karena tidak sesuai dengan aturan yang sudah berlaku di Indonesia,” kata Sunggu.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: