Latest News
You are here: Home | Agroindustri | Pembatasan Lahan Perkebunan Hambat Investasi
Pembatasan Lahan Perkebunan Hambat Investasi

Pembatasan Lahan Perkebunan Hambat Investasi

Duniaindustri (Oktober 2012) – Rencana pembatasan luas lahan perkebunan untuk induk atau holding perusahaan tidak hanya akan merugikan perusahaan besar, namun juga perusahaan perkebunan kecil dan perkebunan inti rakyat (PIR). Oleh karena itu, rencana pembatasan ini dianggap tidak tepat untuk dilaksanakan.

Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), mengatakan rencana lama pembatasan kepemilikan lahan perkebunan bagi induk perusahaan juga akan berimbas pada perkembangan bisnis perusahaan perkebunan kecil dan menengah, bahkan perkebunan rakyat. “Selama ini yang memiliki modal untuk membangun perkebunan dalam skala luas adalah perkebunan besar. Mereka yang bisa melakukannya,” katanya.

Dengan kepemilikan modal yang kuat, menurut Sofjan, hampir 60% modal yang dibutuhkan oleh perkebunan rakyat dan kecil didapatkan dari pinjaman atau bantuan perkebunan besar, seperti untuk penyediaan bibit, pupuk, atau modal yang lain. “Jangan dibatasi, yang kecil-kecil juga tidak akan bisa berkembang bahkan mati,” katanya. Selain menilai tidak tepat, Sofyan mengatakan, kalau rencana itu akan membuat iklim investasi perkebunan Indonesia terpuruk.

Sadino, Direktur Eksekutif Biro Kajian Hukum dan Kebijakan Kehutanan mengatakan, pemerintah akan sulit mengatur luasan maksimal yang boleh dimiliki oleh induk perusahaan atau korporasi. Apalagi, payung hukum untuk melakukan itu hanya setingkat peraturan menteri. “Aturan seperti itu pernah dilakukan oleh Kementerian Kehutanan (Kemhut), namun mentah di pengadilan,” katanya.

Dia menambahkan, Kemhut dahulu membatasi kepemilikan konsesi hutan maksimal 100.000 hektare (ha) untuk satu pulau. Namun, belum lama aturan berjalan, sejumlah perusahaan sudah melakukan gugatan hukum sehingga aturan gagal diberlakukan. “Nasibnya untuk pembatasan luasan kebun ini juga akan sama. Apalagi jika aturan ini hanya formalitas saja,” katanya.

Walaupun begitu, Sadino menilai, ide aturan ini sebenarnya bagus agar tidak terjadi penumpukan modal untuk perusahaan tertentu dan bisa memunculkan perusahaan-perusahaan baru. Hanya saja, untuk membatasi kepemilikan lahan perkebunan satu perusahaan bukan dengan mengatur di sisi korporasi, namun lebih di sisi perizinan. Apalagi, undang-undang tentang perseroan terbatas (PT) memang tidak mengatur atau memiliki pembatas mengenai batasan lahan yang bisa diperoleh perusahaan.

“Di sisi perizinan, jika ada satu perusahaan baru yang meminta izin perkebunan, harus dilihat apakah dia berhubungan dengan perusahaan perkebunan lain. Jika iya, apakah perusahaan tersebut sudah melebihi batasan atau belum,” katanya.

Pemerintah hanya bisa melakukan pembatasan dengan cara itu, sebab nantinya, jika ada pengambilalihan hak atau akuisisi lahan perkebunan oleh perusahaan lain. Maka Kemtan, tidak akan bisa melakukan tindakan apa-apa, kecuali dalam aturan baru dikatakan bahwa sebelum akuisisi perusahaan diwajibkan mendapatkan izin dari Kemtan.

Ahmad Manggabarani, Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) yang juga mantan Dirjen Perkebunan Kementan, mengatakan pembatasan lahan perkebunan holding perusahaan didasarkan pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007. Dalam peraturan itu pemerintah akan membatasi luas areal maksimum per perusahaan sebesar 100.000 ha untuk komoditas selain tebu. Sedangkan untuk tebu luas maksimal yang diperbolehkan adalah 150.000 ha, dan khusus untuk Papua luas maksimal yang diperbolehkan dua kali lipat dari pulau-pulau lain.

“Ketentuan ini dikecualikan untuk koperasi, perusahaan negara dan daerah, juga perusahaan terbuka (tbk). Perusahaan juga harus menyiapkan lahan plasma 20%,” katanya.

Menurutnya, peraturan tersebut sudah mempertimbangkan efisiensi, hilirisasi dan prinsip keadilan. Sebelumnya diberitakan, Kemtan saat ini masih menggodog revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 tahun 2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan. Beberapa hal yang saat ini hangat dibicarakan adalah tentang pembatasan izin usaha perkebunan (IUP) bagi induk atau holding perusahan. Pembahasan revisi itu juga melibatkan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Sekedar informasi, selama ini belum ada peraturan yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan lahan oleh setiap holding company. Namun, yang berlaku sekarang adalah setiap perusahaan hanya dibatasi kepemilikan lahannya hingga 100.000 ha.

Joko Supriyono, Sekertaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mengatakan rencana pembatasan kepemilikan lahan dari setiap holding perusahaan tersebut tidak menjawab persoalan permasalahan sawit saat ini. “Kondisi itu hanya akan menghambat pengembangan kebun baru,” katanya.
Menurut Joko, kewajiban perusahaan perkebunan menyediakan lahan perkebunan untuk masyarakat minimal 20% dari total lahan sebenarnya sudah cukup baik untuk meningkatkan produktivitas petani sawit rakyat.

Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan, luas areal lahan kelapa sawit di Indonesia pada 2011 mencapai 8.908.000 hektare, sementara di 2012 angka sementara mencapai 9.271.000 hektare, padahal target renstra Kementan hanya 8.557.000 hektare. Itu berarti, luas lahan sawit Indonesia saat ini telah meningkat dibanding 2011 dan melebihi target Renstra Kementan.

Data Ditjen Perkebunan Kementan juga menyebutkan, volume ekspor kelapa sawit (CPO) di semester I 2012 mencapai 9.776.000 ton. Di 2011, volume ekspor kelapa sawit mencapai 16.436.000 ton.

Nilai ekspor kelapa sawit di semester I 2012 mencapai US$ 9.952 juta. Nilai ekspor kelapa sawit di 2011 sebesar US$ 17.261 juta.
Produksi kelapa sawit nasional di 2011 mencapai 22.508 ribu ton, sementara di 2012 angka sementara 23.633 ribu ton, di target renstra Kementap ditetapkan 25.710 ribu ton.
Saat ini Indonesia telah menerapkan moratorium lahan perkebunan sawit yang membatasi ekspansi produsen sawit. Meski demikian, luas lahan sawit terus meningkat.
PT Sinarmas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) menguasai lahan sawit terbesar di Indonesia sebesar 480 ribu hektare hingga saat ini. Total lahan sawit di Indonesia pada 2012 diperkirakan mencapai 8,2 juta hektare.

Seorang eksekutif SMART yang enggan diungkap jatidirinya menyebutkan dengan luas lahan itu, Sinarmas Agro menjadi produsen sawit terbesar di Indonesia. “Sinarmas Group juga memiliki 1 juta hektare lahan sawit di Papua yang belum digarap,” ujarnya kepada duniaindustri.com.

Data Kementerian Pertanian RI yang diperoleh tim redaksi duniaindustri memperlihatkan, Sinarmas Group masih mendominasi produksi CPO sebanyak 15.000 ton per hari dengan total luas lahan kebun sawit di Indonesia mencapai 320 ribu hektare di 2010 dan 2011. Perusahaan terbesar kedua adalah Wilmar International Group yang memproduksi 7.500 ton per hari dengan luas lahan 210 ribu hektare.

Disusul kemudian PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV yang memproduksi 6.675 ton per hari, kemudian PT Astra Agro Lestari Tbk yang memproduksi 6.000 ton per hari dengan luas lahan 192 ribu hektare.

Data Kementerian Pertanian juga menyebutkan, jika dilihat dari luas lahan kebun sawit yang dimiliki, Salim Group yang merupakan induk usaha dari PT Salim Plantations, Indofood Group, dan IndoAgri menguasai lahan sawit terbesar di Indonesia sebesar 1.155.745 hektare. Disusul kemudian oleh Sinarmas Group dan Wilmar. Namun, lahan yang dimiliki Salim Group belum ditanami seluruhnya, hanya 95.310 hektare.

Data Kementerian Pertanian menyebutkan, luas areal kelapa sawit di Indonesia hingga 2009 mencapai 7,32 juta hektare meningkat 11,8% per tahun sejak 1980 yang baru mencapai 290 ribu hektare. Indonesia dan Malaysia menguasai 86% produksi CPO dunia. Indonesia menguasai 44,5% produksi CPO dunia, sedangkan Malaysia 41,3%.

Sepanjang 2010, nilai devisa ekspor minyak sawit mentah dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar, naik 50% lebih dari 2009 yang berjumlah US$ 10 miliar. Departemen Pertanian Amerika Serikat (US Department of Agriculture/USDA) memperkirakan, ekspor CPO Indonesia tahun ini bisa mencapai 19,35 juta ton. Angka itu naik dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 17,85 juta ton. Sedangkan produksi CPO Indonesia akan mencapai 25,4 juta ton pada 2011. Angka itu lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya sebesar 23,6 juta ton.

Jika proyeksi itu dipadukan dengan capaian ekspor CPO Indonesia pada 2010, tidak berlebihan apabila nilai ekspor CPO Indonesia pada 2011 akan menembus US$ 20,2 miliar atau setara Rp 180 triliun.(Tim redaksi 02/sds)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top