Duniaindustri.com (Februari 2016) – Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 258 juta jiwa berperan penting bagi pertumbuhan pasar farmasi di ASEAN. Dengan kekuatan pasar lokal yang besar, Indonesia berkontribusi sekitar 27% terhadap pasar farmasi di ASEAN.
“Nilai perdagangan produk farmasi intra-ASEAN sebesar US$ 1,11 miliar. Itu peluang yang harus diiringi dengan peningkatan kualitas yang mumpuni melalui Research & Development (R&D) yang komprehensif, mengingat impor bahan baku kita sangat tinggi,” kata Menteri Perindustrian Saleh Husin, melalui siaran pers.
Dia menambahkan saat ini pada level ASEAN, pasar farmasi Indonesia mencapai 27 persen dari total pasar ASEAN. Dari jumlah tersebut, sekitar 70% didominasi oleh pemain nasional yang menjadikan Indonesia satu-satunya negara di ASEAN yang didominasi oleh industri lokal. Diproyeksikan pasar produk farmasi Indonesia sendiri pada 2016 sebesar Rp 69,07 triliun yang diharapkan meningkat menjadi Rp 102,05 triliun pada 2020.
Menurut dia, industri farmasi dalam negeri menghadapi tantangan yang cukup berat untuk dapat bersaing dengan negara-negara tetangga terutama pada saat pasar bebas ASEAN (MEA) seperti saat ini. Padahal, 95% bahan baku obat masih sangat tergantung dengan impor. Baham baku dalam negeri masih sangat kecil andilnya dalam mendukung indutri farmasi nasional.
Menyadari kelemahan dan potensi itu, dia pun meminta kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk kepada seluruh pelaku indutri farmasi untuk bekerja sama agar pasar dalam negeri tetap dapat dikuasai diri sendiri. Salah satunya adalah upaya untuk menekan jumlah importasi bahan baku obat.
“Presiden Joko Widodo sangat menaruh perhatian pada industri farmasi karena selama ini impor bahan baku obat masih 95%. Maka kita perlu bekerja sama dengan para pelaku industri ini untuk menumbuhkan industri farmasi demi mengurangi importasi,” kata Saleh.
Untuk itu, Kemenperin meminta dilakukan penelitian independen pada produk biotech and natural sebagai substitusi bahan baku obat berbasis kekayaan alam yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Dikatakannya, hal itu menjadi salah satu langkah penting dalam pengembangan industri farmasi Indonesia menuju kemandirian produksi obat dan bahan baku obat.
“Pemerintah mengapresiasi Kalbe Farma atas komitmen dalam realisasi investasi pada sektor bahan baku obat berbasis bioteknologi. Apalagi perusahaan ini merupakan salah satu pelopor pembinaan standar dan kualitas produk farmasi yang baik,” tukas dia.
Pinjaman Bank
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menyalurkan kredit modal kerja sebesar Rp1 triliun untuk membantu pemenuhan kebutuhan cash flow PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dalam menyediakan obat untuk masyarakat.
Bank Mandiri juga menyediakan fasilitas treasury line senilai US$ 8 juta yang dapat digunakan Kalbe Farma untuk memenuhi kebutuhan valas dalam pengadaan bahan obat-obatan.
Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas menjelaskan, penyaluran fasilitas kredit ini merupakan komitmen perseroan untuk mendukung pemerintah dalam mengembangkan sektor kesehatan nasional terutama melalui pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri kesehatan dan farmasi.
Kami berharap kerja sama ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kedua belah pihak serta memberikan kontribusi dalam mendukung pertumbuhan pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Rohan, dalam siaran pers.
Menurut dia, kredit modal kerja yang diberikan tersebut merupakan pembiayaan jangka pendek dan memiliki jangka waktu selama satu tahun. Adapun fasilitas treasury line yang dapat dimanfaatkan Kalbe Farma untuk kebutuhan lindung nilai (hedging) tersebut juga berjangka waktu satu tahun.
“Sektor farmasi perlu terus didorong mengingat tingginya kebutuhan obat-obatan di Tanah Air sejalan dengan semakin banyaknya jumlah penduduk Indonesia,” ungkap Rohan.
Dia mengatakan Bank Mandiri telah menyalurkan pembiayaan ke sektor farmasi sebesar Rp2,45 triliun pada 2015, atau naik 40,80% dari 2014 yang sebesar Rp1,74 triliun.(*/berbagai sumber/tim redaksi 02)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: