Duniaindustri.com (September 2017) – Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan Asia berada di jalur untuk tumbuh lebih cepat pada tahun ini dan 2018, didukung peningkatan perdagangan dunia dan ekspansi China. Namun, ekspektasi positif itu masih dibayangi risiko dari pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat.
ADB memperkirakan Asia tumbuh masing-masing sebesar 5,9 dan 5,8 persen pada 2017 dan 2018, seperti dilansir Reuters, Selasa (26/9). Angka tersebut tidak berubah dari proyeksi Juli 2017, namun lebih tinggi dari perkiraan 5,7 persen yang diberikan untuk dua tahun dalam laporan Asian Development Outlook (ADO) yang dirilis April lalu.
China diperkirakan tumbuh 6,7 persen pada tahun ini dan 6,4 persen tahun depan, menurut ADB, tidak berubah dari proyeksi Juli. “Prospek pertumbuhan untuk negara berkembang Asia terus berlanjut, didukung oleh kebangkitan kembali perdagangan dunia dan momentum kuat di China,” ujar Kepala Ekonom ADB, Yasuyuki Sawada, dalam sebuah pernyataan setelah bank tersebut memperbarui prospek 2017-nya.
Sawada mengatakan negara-negara berkembang di Asia harus memanfaatkan prospek ekonomi jangka pendek yang menguntungkan untuk berinvestasi di bidang infrastruktur, meningkatkan produktivitas dan mempertahankan kebijakan ekonomi yang baik guna mendorong pertumbuhan jangka panjang.
Namun, ADB memangkas proyeksi pertumbuhan untuk Asia Selatan menjadi 6,7 persen tahun ini dan 7,0 persen pada 2018, dibandingkan perkiraan sebelumnya yang dirilis Juli lalu, yakni 7,0 persen dan 7,2 persen.
Pertumbuhan India tercatat 7,0 persen dan 7,4 persen untuk tahun ini dan selanjutnya, lebih rendah dari perkiraan Juli yakni 7,4 persen dan 7,6 persen.
Perekonomian Asia Tenggara diperkirakan tumbuh 5,0 persen pada 2017 dan 5,1 persen tahun depan, lebih kuat dari proyeksi Juli, yakni 4,8 persen dan 5,0 persen.
Namun, ADB mengatakan pembuat kebijakan regional harus siap-siap menghadapi arus capital outflow potensial dan biaya pinjaman yang lebih tinggi karena Federal Reserve memulai pengurangan stimulus moneter agresif yang sudah berjalan satu dekade, dan terus menaikkan suku bunga.
“Karena suku bunga jangka panjang di banyak negara Asia terkait erat dengan di Amerika, para pembuat kebijakan harus memperkuat posisi keuangan mereka lebih jauh dan memantau tingkat utang dan harga aset,” tutur ADB.
ADB mengatakan Indonesia, Malaysia, Thailand dan Taiwan dapat mengambil manfaat dari dorongan dalam kebijakan yang akomodatif, namun semakin intensifnya tekanan inflasi membuat kasus stimulus di Filipina dan Korea Selatan menjadi berkurang.
Inflasi di kawasan itu diperkirakan sedikit lebih lambat pada level 2,4 persen tahun ini dan 2,9 persen tahun depan, dibandingkan 2,6 persen dan 3,0 persen yang diprediksi Juli lalu.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: