Duniaindustri.com (April 2018) BALI – Uni Eropa dinilai mustahil melarang penggunaan minyak sawit, terutama untuk produk pangan, karena alternative substitusi justru bermasalah serta sulit menggantikan volume pasokan yang begitu besar dalam waktu singkat. Hal itu diungkap Chairman LMC International, James Fry, dalam konferensi pers yang diselenggarakan di sela-sela ICOPE 2018.
“Jika masyarakat melihat realitas hari ini, saya yakin mustahil bagi Eropa untuk secara mudah menggantikan minyak sawit,” ujar James. James Fry merupakan salah satu pihak yang membuat kajian tentang deforestasi di perkebunan kelapa sawit untuk menjadi rujukan bagi Parlemen Eropa.
Menurut dia, dalam laporan Komisi Eropa saat ini juga terjadi beberapa diskusi dan pertentangan. “Jika Eropa mem-banned minyak sawit seluruhnya, secara mendadak Anda akan kehilangan pasar sekitar 6-7 juta ton, kemudian timbul pertanyaan apa yang akan menggantikannya?” tanyanya.
Fry menerangkan, minyak nabati yang potensial menggantikan minyak sawit adalah soyabean. “Tapi soyabean juga bermasalah. Konsumen Eropa tidak akan konsumsi soyabean yang merupakan modifikasi genetik. Karena harus dipasang label khusus, dan supermarket tidak suka dengan label ini,” paparnya.
Di sisil ain, tambah dia, begitu banyak produk makanan berbasis palm kernel oil. Jika digantikan oleh soyabean, maka akan timbul kebencian yang lebih besar di kalangan LSM di Eropa karena merupakan modifikasi genetik. “Jadi soyabean oil mengandung masalah,” ucapnya.
Selain soyabean, dia menerangkan, alternative substitusi minyak sawit adalah rapeseed oil. Eropa memproduksi rapeseed oil, tapi tidak cukup menggantikan volume minyak sawit. Tidak logis impor rapeseed atau yang setara yakni minyak kanola dari Kanada dan Australia. Minyak nabati ini juga hasil modifikasi genetik. Kecuali jika Eropa berani menjadi pembeli besar minyak alternative dan mendorong kenaikan harga minyak darimodifikasi genetik serta membawanya ke Eropa.
“Tapi saya yakin konsumen di Eropa tidak akan senang, jika mendadak semua produk pangan yang dia konsumsi mengandung modifikasi genetik,” paparnya.
Eddy Esselink, Ketua Aliansi Sawit Eropa (EPOA), juga menilai tidak logis dan mustahil untuk menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya.“Penggunaan minyak sawit sudah sangat luas di produk-produk yang dikonsumsi masyarakat Eropa. Tidak mungkin menggantikannya secara mendadak,” paparnya.
Menurut Esselink, EPOA dibentuk pada 2013 untuk mematahkan stigma negative tentang minyak sawit. “Komitmen EPOA adalah mencapai sawit berkelanjutan di Eropa dengan cara memberi inisiatif di seluruh Eropa,” ujar Esselink.
Ia juga menyebut public perlu mendengar kisah lengkap tentang perkembangan sawit. Menurutnya, kebutuhan minyak nabati akan terus meningkat seiring dengan penambahan populasi di dunia. Untuk itu keberlanjutan sector sawit perlu dijaga. Ada sederet ide kunci pendorong keberlanjutan sector sawit yang dilontarkan Esselink.
Tiga di antaranya adalah tanggung jawab menjaga rantai pasok, kolaborasi, dan memastikan efektivitas dampak keberlanjutan. Dari seluruh ide kunci yang dilontarkan, Program Manager Sustainable Development MVO itu member penekanan pada kolaborasi. “Hasil positif bias dicapai apabila kolaborasi muncul dari hasil kerjasama yang bagus dengan rantai pasok,” paparnya. Semua inisiatif yang diluncurkan parapemangku kepentingan di Eropa itu juga sejalan dengan 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).
Isu kelapa sawit berkelanjutan menjadi bahasan utama dalam konferensi internasional tentang kelapa sawit dan lingkungan atau International Conference on Oil Palm and the Environment (ICOPE) 2018 yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 25-27 April 2018. Lebih dari 400 delegasi dari 30 negara hadir untuk membahas isu-isu strategi tentang keberlanjutan industri kelapa sawit.
Isu Sustainable Palm Oil
Chairman ICOPE 2018 JP Caliman, menjelaskan ICOPE telah mendapatkan pengakuan global dalam komunitas ilmiah sebagai sumber daya yang berguna dan tidak bias untuk hal-hal yang berkaitan dengan produksi minyak sawit dan keberlanjutan. ICOPE adalah satu-satunya konferensi internasional yang didedikasikan untuk kelapa sawit dan lingkungan dengan jumlah peserta sebesar itu.
“ICOPE dimulai 11 tahun yang lalu oleh tiga mitra yang berbagi nilai yang sama untuk tujuan mencapai keberlanjutan industri kelapa sawit, bersemangat untuk bekerja dalam kolaborasi, dan merengkuh kepercayaan dalam sains,” ujarnya dalam sambutan pembukaan ICOPE 2018.
Franky Oesman Widjaja, Chairman dan CEO Sinar Mas Agribusiness and Food, menambahkan ICOPE 2018 juga bertujuan untuk membahas masa depan industri kelapa sawit. “Komunitas global semakin mempertanyakan sektor minyak kelapa sawit tentang kemampuannya untuk menghentikan (menghentikan) deforestasi, memberikan mata pencaharian positif dan berkontribusi untuk memberi makan populasi dunia yang terus tumbuh secara berkelanjutan.Selama ICOPE 2018, saya yakin kita bisa bersama-sama menunjukkan kepada dunia apa yang sudah kita lakukan dan bagaimana masa depan yang berkelanjutan untuk kelapa sawit,” ujarnya.
Untuk mencapai kesuksesan, lanjut dia, seluruh pihak yakni akademisi, pemain industri, pemerintah, pelanggan, konsumen, anggota masyarakat, LSM dan ilmuwan harus bersatu dan selaras pada pemahaman dan tujuan bersama. “Ada persepsi publik bahwa sektor minyak sawit tidak peduli dengan lingkungan atau jutaan orang yang membentuk industri ini. Saya mengerti mengapa persepsi ini ada. Seperti industri lain, kami memiliki sejarah yang bagus. Dan saya percaya persepsi ini tidak dibenarkan sekarang.Perubahan sedang terjadi, di perusahaan saya sendiri dan di seluruh sektor,” katanya.
Menurut Franky, keberlanjutan hanya dapat dicapai ketika ada keseimbangan antara peluang ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. “Masalah ini menjadi kunci dari sektor minyak sawit berkelanjutan dan merupakan komponen kunci dari tema untuk ICOPE 2018 yakni Solusi untuk Produksi Lokal,” paparnya.
Untuk mencapai ketahanan pangan, lanjut dia, harus diberikan peluang ekonomi yang difokuskan untuk memberdayakan petani kecil. Pada tahun 2050, akan ada 10 miliar orang yang perlu diberi makan. “Diperkirakan dibutuhkan 200,25 juta ton minyak nabati untuk membantu memberi makan orang-orang ini.Dari mana asalnya?Jika Anda memilih minyak kedelai, Anda akan membutuhkan 445 juta hektar lahan pertanian.Jika Anda memilih kelapa sawit, hanya 40 juta hektar lahan pertanian yang akan dibutuhkan,” jelasnya.
Dia menjabarkan industry minyak kelapa sawit merupakan industri utama dan penting di Indonesia. Sektor industry ini merupakan mesin ekonomi yang menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan jutaan orang Indonesia. “Industri minyak sawit mempekerjakan 21,2 juta orang secara langsung dan tidak langsung, menghasilkan US$ 21,25 miliar dari ekspor pada 2017,” ucap Wakil Ketua Kadin Bidang Agribisnis, Pangan, dan Kehutanan itu.
Terlebih lagi, lanjut dia, sector industry ini menyediakan pendidikan dasar dan perawatan kesehatan bagi orang yang bekerja dan tinggal di sekitar perkebunan.Setiap 10.000 hektar perkebunan kelapa sawit memiliki sekolah dan klinik. “Anda dapat membayangkan berapa banyak sekolah dan klinik yang dibangun di daerah terpencil yang diuntungkan oleh masyarakat di sekitar area tersebut,” pungkasnya.(in depth news/tim redaksi 01*)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: