JAKARTA– Sejumlah anggota DPR akan meminta klarifikasi Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Tifatul Sembiring karena memberikan persetujuan atas aksi merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis). Anggota DPR dari Komisi I Tantowi Yahya secara tegas mengatakan, pemberian semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL bertentangan dengan regulasi.
“Frekuensi tidak diperkenankan untuk dijual bebas. Apalagi jika hal itu hanya didasarkan pada aspek komersial semata,” kata Tantowi dalam diskusi “Apakah Aksi Merger XL-Axis Sesuai dengan Regulasi?” di Jakarta, Senin (9/12).
Menurut politisi dari Partai Golkar itu, frekuensi adalah aset negara dan merupakan sumber daya terbatas yang manfaat terbesarnya adalah peningkatan kapabilitas dan kapasitas masyarakat. Bukan potensi sekadar pendapatan negara saja. Dengan demikian masyarakat berhak menikmati layanan hingga ke pelosok.
Tantowi mengatakan, akuisisi dan merger di industri adalah hal biasa dan telah diatur dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas. Namun menyangkut industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk asset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi. Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi tidak merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.
Tantowi mengakui, dari sisi peraturan yang membawahinya terdapat ambigu. Dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri.
Meski peraturan membolehkan menteri untuk mengalihkan izin frekuensi, Tantowi menilai aspek kepentingan bangsa alias Merah Putih harusnya lebih dikedepankan, sehingga perlu dikonsultasikan denganstakeholder lainnya. Karenanya, imbuh Tantowi, agar tidak berpotensi merugikan negara, seluruh frekuensi yang dikelola oleh Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulangdan dikelola oleh operator memiliki komitmen mewujudkan inklusi telekomunikasi.
“Selama ini, perusahaan asing di Indonesia terbukti hanya mencari keuntungan bisnis semata, bukan untuk kepentingan masyarakat luas hingga ke pelosok tanah air,” ujarnya.
Tantowi juga mengatakan, pengalihan frekuensi 1.800 Mhz kepada XL juga tidak tepat, karena spektrum ini lebih sesui dengan kebutuhan masyarakat di pelosok lebih banyak menggunakan 1800 (2G). Padahal selama ini, XL terbukti jelas mangkir dari komitmen modern licensing, yang mengharuskannya membangun hingga ke pedesaan dan perbatasan.
Ia mencurigai, frekuensi 1.800 Mhz ini kelak lebih banyak dimanfatkan oleh XL untuk menggelar LTE (long term evolution) sehingga memperkuat posisi XL untuk menggelar 4G, yang akan memberikan operator Malaysia itu keunggulan pada layanan data. Sekedar diketahui, banyak negara telah menggelar 4G di jaringan 1.800 Mhz, sebab dari segi ekosistemnya lebih matang ketimbang spektrum yang lain.
Senada dengan Tantowi Yahya, anggota DPR dari F-PAN Chandra Tirta Wijaya mengatakan bahwa Menkominfo Tifatul Sembiring keliru dalam mengambil keputusan terkait merger XL-Axis. Untuk itu, Komisi I DPR lanjut dia, akan meminta Menkominfo klarifikasi kepada DPR.
“Merger antara XL-Axis tersebut berisiko merugikan negara, akibat peralihan frekuensi dari perusahaan Arab Saudi itu kepada perusahaan Malaysia itu. Penguasaan frekuensi kepada asing selama ini justru pemanfaatannya tidak maksimal,” tegas Chandra.
Menurut Chandra, industri seluler perlu ditata dengan lebih efisien, adil dan transparan, dengan berorientasi kemudahan konsumen. Alokasi frekuensi harus sesuai dengan ukuran dan daya jangkau masing-masing operator.
“Yang terjadi saat ini adalah ketidakadilan di industri dan adanya kepentingan korporasi yang membuat mereka mangkir untuk menepati komitmen modern licensing,” tukasnya.
Pemegang saham pengendali XL adalah Axiata Investments (66,5%). Axiata Group Berhard ini dinakhodai Dato’ Sri Jamaludin Ibrahim asal Malaysia, sedangkan Saudi Telecom Company (STC), perusahaan Arab Saudi merupakan pemegang saham terbesar Axis dengan kepemilikan 80,1% saham.
Pasca merger, XL kini menguasai 22,5 Mhz di rentang spektrum 900 MHz dan 1.800 MHz (2G), serta 15 Mhz di 2.100 MHz (3G). Dengan dua senjata ini, XL diprediksi akan mampu menguasai pasar industri selular dalam tempo 3-5 tahun ke depan, khususnya layanan data yang semakin “happening”. Ini berarti operator Malaysia akan semakin dominan di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Ikhsan Mojo menilai merger XL dan Axis berpotensi mengganggu pangsa pasar di industri telekomunikasi Indonesia. Pasalnya, ada pemain lain yang akan terlampaui konsentrasi pasarnya jika XL dan Axis merger. Terlebih lagi, konsentrasi pasar perlu diperhatikan regulator dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar tidak terjadi pelanggaran seperti 2008-2009.
“Tercium kebusukan dalam merger XL dan Axis karena adanya konsentrasi pasar yang tinggi, ini patut dicurigai karena bisa menimbulkan kerugian bagi konsumen dan negara,” ujarnya.
Menurut dia, lembaga legislatif perlu menelusuri dan menyelidiki aksi korporasi ini sehingga dapat dicegah dan ditindak sesuai regulasi yang berlaku. “Jangan sampai konsumen dan negara dirugikan,” tuturnya.
KPPU Belum Setujui
Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum menyetujui merger XL dan Axis. KPPU telah melakukan penilaian awal terhadap aksi korporasi dua perusahaan telekomunikasi tersebut. Hasil penilaian awal itu akan selesai pada pertengahan Desember 2013. Jika terbukti ada dugaan konsentrasi pasar yang menyalahi regulasi, KPPU akan meningkatkan pengawasan menjadi penilaian menyeluruh. Fokus kajian Komisi Pengawas adalah kepemilikan sejumlah frekuensi perusahaan pascamerger dan pengaruhnya terhadap industri seluler Indonesia.
Muhammad Syarkawi Rauf, anggota Komisioner KPPU, mengatakan satu hal yang menarik dari proses merger XL Axiata-Axis adalah spektrum frekuensi. Sebab pascamerger, kepemilikan spektrum frekuensi XL Axiata-Axis sebesar 55 MHz, lebih tinggi dari operator terbesar PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) yang 50 MHz. Jumlah pelanggannya juga bertambah menjadi sekitar 60 juta pengguna, lebih tinggi dari PT Indosat Tbk (ISAT), operator kedua terbesar di Indonesia.
Berdasar pengamatan KPPU, Telkomsel dengan lebar pita 50 MHz harus melayani lebih dari 100 juta pelanggan. Sementara XL Axiata-Axis hanya melayani 60 juta pengguna dengan lebar pita 55 MHz. Ini memungkinkan pelanggan operator lain berpindah ke perusahaan merger XL Axiata-Axis, demi mendapatkan layanan seluler yang lebih baik. Sebab, apabila lebar pita makin banyak dan jumlah pengguna sedikit, maka layanan seluler lebih bagus.
“KPPU tidak mengurusi masalah merger frekuensi, sebab kami fokus pada kondisi pasar. Kami akan mengawal bagaimana kepemilikan frekuensi tersebut akan berdampak terhadap pangsa pasar perusahaan hasil merger. Untuk merger frekuensi, kami serahkan aturannya ke pemerintah,” kata Syarkawi.
Menurut Syarkawi, KPPU akan meninjau kembali merger XL Axiata-Axis, jika ditemukan bukti adanya monopoli akibat kepemilikan spektrum frekuensi tersebut.
Ahmad Djunaidi, kepala biro humas dan hukum komisi KPPU, menjelaskan KPPU menambah persyaratan bagi korporasi yang akan melakukan penggabungan (merger), akuisisi, maupun peleburan. Pertama, dokumen terkait business plan berisi arah kebijakan para pihak tiga tahun kedepan. Serta kondisi industri para pihak secara grup, bagaimana kondisi industri beserta peta persaingan di industri tersebut.
Dokumen kedua yaitu data semua struktur pasar industri dimana para pihak melakukan kegiatan usahanya. Dokumen tersebut meliputi data pangsa pasar para pihak, dan data pangsa pasar perusahaan pesaing.
Perkom 2 Tahun 2013 menguraikan dua tahap konsultasi atau notifikasi merger. Yaitu tahap pemeriksaan kelengkapan dokumen. Tahap berikutnya adalah penilaian. Terkait Perkom baru ini, Djunaidi menyatakan dua dokumen tambahan sebagai prasyarat dilakukannya penilaian atau tidak.
Namun demikian, ketika KPPU memeriksa kelengkapan dokumen permohonan, akan diminta konfirmasi terkait data pasar yang diserahkan oleh pelaku usaha kepada pihak pihak terkait. Pihak terkait tersebut seperti pesaing, pemerintah sebagai regulator industri, praktisi/pengamat di pasar, serta pihak lainnya yang terkait dengan pasar tersebut.
Dokumen business plan diperlukan agar KPPU menilai dan mengidentifikasi potensi dampak yang akan terjadi dari suatu merger. Dampak yang dimaksud apakah menciptakan praktik monopoli dan atau mengurangi efisiensi ekonomi. Sementara dokumen yang memuat informasi pangsa pasar pesaing merupakan informasi penting bagi KPPU dalam menghitung konsentrasi pasar secara lebih efektif. Sehingga, KPPU dapat membuat penilaian dan segera dapat mengeluarkan pendapat komisi.
Bertentangan
Selain itu, kejanggalan lainnya muncul saat Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring tak menggubris permintaan Hatta Rajasa yang notabene adalah ‘atasannya’ dalam struktur kabinet yang dipimpin Presiden SBY.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menyetujui niat XL Axiata untuk meminang Axis (2/12/2013). Dalam persetujuannya, Menkominfo mengambil 10 Mhz di frekuensi 2.100 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis. Namun, Kominfo memberikan semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL setelah akuisisi berlangsung.
Keputusan tersebut jelas berseberangan dengan instruksi Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Sebelumnya, Hatta menegaskan bahwa spektrum frekuensi telekomunikasi harus dimanfaatkan untuk memberikan pendapatan kepada negara.
Oleh karena itu, ujarnya, Axis Telekom tidak bisa serta merta dipindahtangankan ke pihak lain, walaupun operator seluler tersebut nantinya telah berganti kepemilikan.
Dia mengatakan bahwa sesuai dengan undang-undang yang berlaku, spektrum frekuensi Axis tak bisa serta merta diberikan ke pihak manapun dengan alasan apapun, baik itu asas komersialisasi maupun kerja sama lainnya.
“Spektrum frekuensi ini sumber daya yang sangat terbatas. Atas alasan apapun, spektrum frekuensi itu tidak bisa dikomersialkan. Dia harus mengembalikannya ke pemerintah, yang kemudian baru pemerintah yang mengaturnya,” ujar Hatta.
Pernyataan Hatta ini mempertegas aturan yang berlaku di Kominfo dimana pemerintah hanya menyetujui opsi merger, untuk kemudian spektrum frekuensi eks Axis akan didistribusi ulang secara seimbang dengan mendahulukan kepentingan nasional.
Namun, penegasan Hatta itu justru disambut Tifatul dengan aksi ‘mbalelo’. Politisi dari Fraksi PKS itu rupanya lebih mengedepankan aspek komersial dibandingkan kepentingan bangsa.
Mengacu kepada ketentuan, yakni Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi, penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah. Karenanya pasa merger, semua spektrum frekuensi warisan Axis harus diitarik kembali oleh pemerintah dan selanjutnya dapat dialokasikan kepada operator lain dengan dua metode, yaitu lelang dan evaluasi sesuai PM No. 23/2010.(*)