Duniaindustri.com (Desember 2013) – Meski rencana merger dengan PT Axis Telekom Indonesia (Axis) sudah disetujui oleh Menkominfo, peluang PT XL Axiata Tbk (EXCL) menguasai industri selular di pasar domestik tampaknya masih harus melalui jalan berliku. Pasalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan akan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap aksi korporasi itu, karena dinilai berpotensi memunculkan monopoli dan praktek persaingan tidak sehat.
Bersama Indosat dan Telkomsel, XL merupakan pemain yang sangat diperhitungkan di industri selular Tanah Air. Sejak 2007, kepemilikan saham XL diambil alih oleh Axiata Malaysia, perusahaan seluler terbesar di Asia Tenggara setelah Singtel (Singapura Telecom).
Semenjak itu, pergerakan XL semakin agresif karena terus mendapatkan sokongan dana segar dari Axiata. Untuk bisa bersaing, XL kerap mengusung strategi tarif yang terjangkau. Strategi ini pada akhirnya mendorong terjadinya perang tarif yang membuat industri selular berdarah-darah hingga kini.
Hingga kuartal ketiga 2013, XL terus mencatat pertumbuhan yang posiitif. Kontribusi pendapatan layanan Data meningkat menjadi 23%, dibandingkan tahun lalu 19%. Pendapatan layanan Data tumbuh sebesar 15% dari tahun lalu, disertai meningkatnya traffic sebesar 125%. Sedangkan jumlah pelanggan tumbuh menjadi 58 juta.
XL juga memiliki 14.722 Node B (BTS 3G), meningkat 38% dari tahun lalu. Total 2G dan 3G BTS sebanyak 42.796 BTS. Sayangnya, sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini XL mencatat penurunan laba bersih sebesar 58,3 persen menjadi Rp 917 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 2,2 triliun.
Meski performa XL Axiata belakangan menurun sebagai imbas dari startegi tarif yang terjangkau, namun hal itu tak membuat President and Group CEO Axiata Berhard, Datuk Seri Jamaludin Ibrahim kecil hati. Justru ia semakin bersemangat untuk menguasai pasar regional, terutama dalam bersaing dengan SingTel, raksasa telekomunikasi asal Singapura yang sebelumnya sudah lebih dahulu malang melintang.
Itu sebabnya, ia sangat mendukung langkah CEO XL Axiata Hasnul Suhaimi untuk menuntaskan merger dengan Axis, karena hal itu dapat memberikan penguasaan frekuensi yang lebih banyak kepada XL agar mampu menguasai pasar industri selular Tanah Air, sekaligus menegaskan dominasi Axiata Group di pentas telekomunikasi regional.
Seperti diketahui, saat ini Axiata Group menguasai 7 operator di kawasan Asia dengan kepemilikan bervariasi, masing-masing Celcom(100% – Malaysia), XL(83.8% – Indonesia), Dialog Telekom(85% – Sri Lanka), Robi (70% – Bangladesh), HELLO (100% – Kamboja), Idea Cellular(19.1% – India), dan M1(29.7% – Singapura).
Sedangkan SingTel, selain Singapura juga memiliki kepemilikan saham di 7 negara, masing-masing AIS (Advanced Info Service – Thailand), Globe Telecom (Philipina), Yes Optus (Australia), City Cell (Banglandesh), Telkomsel (Indonesia), Bharti (India), dan Warid Telecom (Pakistan).
Menariknya dari seluruh perusahaan yang bernaung dibawah Axiata Group, Celcom dan XL menjadi perusahaan terbesar yang berpengaruh pada laba Axiata secara keseluruhan.
“XL telah menjadi top biggest EBITDA (Earning before interest, tax, depressiation, and amortitation) dan terbesar kedua dalam hal pendapatan setelah Celcom. XL berkembang sangat cepat sehingga bisa jadi pendapatannya tertinggi menyaingi Celcom,” ujar Dato’ Sri Jamaludin Ibrahim beberapa waktu lalu.
Kontribusi EBITDA XL adalah yang tertinggi di antara grup Axiata lainnya yang mencapai angka 48 persen pada 2012. “Strategi Axiata untuk tahun ini, selain mengembangkan bisnis di akses data, juga manajemen cost operational,” ujar Dato’.
Manajemen cost operational ini berfungsi untuk menekan biaya yang tidak perlu sehingga bisa memaksimalkan pendapatan. Beberapa cara yang digunakan adalah dengan menjual atau menyewakan tower atau stasiun transmisi. Biaya akan turun dan menimbulkan profit yang signifikan.
Menjurus Oligopoli
Agresivitas Axiata Malaysia tersebut, menunjukkan bahwa industri telekomunikasi seluler Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan. Jika menilik jumlah pengguna, sebaran ponsel yang dipakai Indonesia hingga akhir 2012 lalu diperkirakan mencapai 250 juta unit, atau 105,28% dari jumlah penduduk 237,5 juta jiwa. Hal itu menempatkan Indonesia sebagai negara pengguna ponsel terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Fakta itu membuat perusahaan telekomunikasi global menguasai industri tersebut. Penguasaan frekuensi seluler di Indonesia oleh investor asing dinilai terlalu dominan, bahkan menjurus praktik oligopoli. “Terjadi oligopoli frekuensi telekomunikasi di Indonesia saat ini, dan sebagiannya oleh perusahaan asing,” ungkap Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, oligopoli adalah kondisi pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
Mahfudz menyarankan, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) harus melihat sektor telekomunikasi sebagai hal strategis dan berdimensi keamanan nasional. Tidak sekedar persoalan ekonomi semata. “Diperlukan regulasi ketat dan proteksi terhadap penggunaan frekuensi. Jangan pendekatannya murni bisnis korporasi,” tegas politisi dari PKS ini.(*)