Duniaindustri.com (November 2015) – Dua negara penghasil minyak sawit (palm oil) terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia, akhirnya menandatangani piagam pembentukan Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) di Kuala Lumpur, Sabtu (21/11). Pembentukan CPOPC, dengan kontribusi awal masing-masing US$ 5 juta dari Malaysia dan Indonesia, merupakan reaksi langsung penandatanganan Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP).
Dalam penandatanganan piagam CPOPC, Malaysia diwakili oleh Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Datuk Amar Douglas Uggah Embas dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli pada saat penandatanganan, disaksikan oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak dan Presiden Indonesia Joko Widodo, seperti dikuti Bernama. Keanggotaan Dewan akan diperluas ke semua negara penghasil kelapa sawit termasuk Brazil, Kolombia, Thailand, Ghana, Liberia, Nigeria, Papua Nugini, Filipina, dan Uganda.
Momentum bersejarah ini menyatukan kekuatan kedua produsen terbesar dunia itu untuk mengatur harga CPO di pasar internasional, meningkatkan kesejahteraan petani serta promosi citra minyak sawit, stabilisasi harga, peningkatan kerjasama antara produsen, dan koordinasi produksi, stok, mandat biodiesel serta skema penanaman kembali.
Indonesia dan Malaysia saat ini menguasai sekitar 85% dari total produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan, Indonesia memproduksi sekitar 32 juta ton CPO tahun ini, naik dari 31,5 juta ton tahun 2014. Produksi Malaysia juga diperkirakan naik dari 19 juta ton menjadi 20 juta ton.
Indonesia menjadi negara produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia sejak 2010. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, Indonesia menguasai 44,5% pasar dunia dengan volume produksi mencapai 19,1 juta ton pada 2010. Indonesia mengungguli Malaysia yang menempati posisi kedua dengan pangsa 41,3% dari volume produksi 17,73 juta ton.
Ranking ketiga ditempati Thailand yang menguasai 2,7% pasar dunia, disusul Nigeria dengan pangsa 2% dari total pasar dunia, kemudian Kolombia dengan pangsa 1,9%. Total produksi sawit dunia mencapai 42,9 juta ton.
Menurut lembaga independen internasional, Oil World, Indonesia diperkirakan menguasai 47% pasar palm oil dunia di 2011. Sementara pangsa Malaysia ditaksir bakal turun menjadi 39% di tahun ini. Pangsa negara produsen lainnya belum berubah.
Data Oil World juga menyebutkan, produksi sawit dunia pada 2011 diprediksi mencapai 46 juta ton dengan total area yang digunakan untuk menanam sawit di seluruh dunia mencapai 12 juta hektare. Sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit itu berlokasi di Indonesia dan Malaysia.
Oil World memaparkan, minyak sawit kini menjadi minyak nabati dunia paling penting. Di antara seluruh jenis produksi minyak nabati, sawit berada di posisi teratas (dengan pangsa 30%), diikuti minyak kedelai (29%), minyak biji rape (14%), minyak bunga matahari (8%), dan lainnya (19%).
Respons IPOP
Penandatanganan piagam CPOPC juga ditujukan untuk merespons IPOP yang dideklarasikan oleh lima perusahaan besar di sektor ini. Lima perusahaan besar sawit atau lebih dikenal The Big Five Company diperkirakan menguasai 75%-90% perdagangan CPO di Indonesia. Kelima perusahaan itu antara lain Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.
Kelima perusahaan tersebut menampung hampir 90% seluruh tandan buah segar (TBS) dan CPO Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat. Kelima perusahaan itu diketahui mengadopsi pledge (IPOP).
Dalam IPOP, kelima perusahaan raksasa tersebut berjanji untuk tidak memperdagangkan CPO hasil dari deforestasi. Hal itu sontak menimbulkan protes dari petani CPO di Indonesia.
Salah satu perusahaan yang menjadi korban IPOP adalah PT Mopoli Raya Group (MRG). Owner PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah mengungkapkan sejak tiga bulan lalu pihaknya tidak bisa lagi menjual CPO ke grup usaha Wilmar.
“Ketika itu kami membuka lahan di daerah Langsa, Aceh Timur. Pembukaan lahan ini dianggap melanggar kriteria IPOP, sehingga Wilmar yang selama ini menjadi mitra bisnis kami, tak mau lagi membeli CPO kami. Padahal CPO yang kami jual ke Wilmar tersebut bukan dari lahan di Langsa, karena lahan tersebut memang belum berproduksi,” kata Sabri Basyah.
Tentu saja Sabri sangat kecewa dengan perlakuan tersebut. Sebab pihaknya membuka lahan itu telah mengikuti semua aturan yang berlaku di Indonesia. “Tidak ada satupun peraturan pemerintah yang saya langgar, tapi kenapa kami dinilai melanggar aturan IPOP yang dibuat bangsa asing itu?,” katanya.
Oleh karena itu Sabri minta pemerintah bersikap tegas terhadap manajemen IPOP. “Ini kedaulatan kita telah diambil orang asing. Kita diinjak-injak orang asing. Ini penjajahan gaya baru. Karena mereka yang buat aturan itu. Dan kitalah yang menjadi korbannya,” tukas Sabri.
Menurut Sabri, sebenarnya agenda yang diusung Amerika melalui IPOP ini adalah tidak ada lagi ekspansi atau perluasan lahan kelapa sawit (zero growth palm oil) di Indonesia. Tapi Amerika membungkusnya dengan zero deforestationdengan membuat kriteria yang tidak mungkin diikuti oleh pelaku usaha di Indonesia.
Beberapa aspek atau kriteria yang diterapkan dalam IPOP antara lain (1) Melarang ekspansi kebun sawit (No deforestasi), (2) Melarang kebun sawit di lahan gambut (No Peatland), (3) Melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS), dan (4) Melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).
Dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh mata rantai (supply chain) perusahaan dan bersifat dapat ditelusuri. Ini berarti, kendati penandatanganan IPOP dilakukan oleh The Big Five Company, telah menyeret seluruh industri minyak sawit Indonesia ke dalam pasungan IPOP tersebut.(*/berbagai sumber/tim redaksi 02)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: