Duniaindustri (Juli 2011) – Tahukah Anda bahwa Indonesia masih mengimpor kedelai, sebagai bahan baku tahu dan tempe, sebanyak 1,7 juta ton, setara dengan US$ 840 juta atau Rp 7,14 triliun dengan kurs Rp 8.500/US$. Menyedihkan jika kita mengingat bahwa tahu dan tempe merupakan lauk utama kebanyakan masyarakat negeri ini.
Data sementara Badan Pusat Statistik yang diperoleh duniaindustri menyebutkan, impor kedelai selama 2010 sebanyak 1,7 juta ton berasal dari Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Kanada, dan Thailand.
Pemerintah sudah bertekad mencapai swasembada kedelai pada 2014. Namun untuk mencapai target tersebut tidak mudah karena ada beberapa kendala.
Hasil survei Kementerian Pertanian menyatakan, faktor utama yang mempengaruhi swasembada, yakni keberadaan lahan usaha tani kedelai. Selain itu masih rendahnya produktivitas tanaman yakni hanya 1,3 ton/hektare, jauh lebih rendah dibanding negara lain.
Kebutuhan industri berbasis kedelai terbagi empat. Pertama, industri tempe dengan kebutuhan kedelai sekitar 1,2 juta ton/tahun. Kedua, industri tahu yang membutuhkan kedelai sekitar 400 ribu – 500 ribu ton/tahun. Ketiga, industri lainnya membutuhkan kedelai sekitar 100 ribu – 200 ribu ton/tahun. Keempat, industri pakan ternak yang memerlukan hampir 1,5 juta ton bungkil kedelai.
Rahman Pinem, Direktur Kacang-kacangan dan Aneka Umbi-umbian, Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, mengakui kebutuhan kedelai untuk industri tahu tempe memang cukup tingi. Diperkirakan tiap tahun rata-rata kebutuhan sebanyak 2,3 juta ton/tahun. Sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya sekitar 800 ribu-900 ribu ton. Padahal kebutuhan untuk pengrajin tahu dan tempe mencapai 1,6 juta ton. “Karena banyak permintaan tersebut, sedangkan produksi terbatas, kita masih harus mengimpor,” ujarnya.
Dia menerangkan, produksi kedelai dalam dua tahun terakahir turun, karena petani kurang berminat menanam kedelai. Kondisi ini sebagai dampak dari kalangan industri yang lebih senang menggunakan kedelai impor, apalagi harganya lebih murah. “Ini menjadi penyebab sulitnya pengembangan kedelai dan petani lebih senang menanam komoditi yang lain.”
Padahal ketergantungan 100% bahan baku dari luar negeri sangat berbahaya bagi industri tahu tempe. Sebab, jika nanti kedelai impor sulit didapatkan, maka industri tahu tempe akan gulung tikar. Untuk itu pemerintah berharap industri tahu tempe bekerjasama dengan petani kedelai. Dengan demikian rantai pemasaran menjadi pendek dan harga kedelai lokal bisa bersaing dengan impor.
Harga Kedelai Impor
Tahun ini, produksi biji kedelai kering selama 2011 diperkirakan sebanyak 934 ribu ton. Angka tersebut meningkat 2,85 persen dibanding produksi tahun 2010 yang volumenya sekitar 908 ribu ton. Demikian menurut angka ramalan I Badan Pusat Statistik (BPS).
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengrajin Tahu Indonesia (Hipertindo) Johanda Fadil menilai, saat ini harga kedelai impor tidak berbeda jauh ketimbang kedelai dalam negeri. Akibatnya, petani menjadi tidak bergairah menanam kedelai.
Harga kedelai impor untuk kualitas A Rp10 ribu per kg, kualitas B Rp7.500 per kg dan kualitas C Rp5.800-5.900 per kg. Sementara harga kedelai lokal di tingkat petani untuk kualitas C Rp4.500 per kg dan kualitas A Rp7.500 per kg.
”Namun karena tata niaga kedelai di dalam negeri sangat panjang, membuat harga kedelai lokal menjadi lebih tinggi dari kedelai impor,” katanya.(Tim redaksi 02/sds)