Duniaindustri.com (Januari 2014) — Keputusan Menkominfo Tifatul Sembiring terkait dengan merger XL dan Axis kurang transparan karena tidak mewakili rekomendasi tim ad hoc.
“Tim ad hoc sendiri tidak ada. Keputusan merger itu merupakan buah kompromi dan yang memberikan masukan pun BRTI yang notabene merupakan bawahan menteri,” ujar pengamat telekomunikasi dari UI Gunawan Wibisono kepada sejumlah wartawan, Sabtu (9/1).
Menurut dia, sejak awal proses merger ini sudah salah karena pemerintah telah melanggar Pasal 25 ayat 1 PP No. 53 Tahun 2000.
“Mereka berlindung pada Pasal 2 nya, padahal sebenarnya yang boleh diizinkan menteri hanya ISR nya bukan frekuensinya,” ujarnya.
Gunawan mengatakan pengalokasian frekuensi bekas Axis ke XL di pita 1.800 MHZ pun sebenarnya tidak ada dasarnya, karena hal itu menjadikan XL frekuensinya sama dengan Telkomsel, padahal jumlah pelanggan Telkomsel jauh lebih besar. Ini, kata dia, menunjukkan tidak adanya prinsip-prinsip keadilan.
Menanggapi hal itu, anggota BRTI Nonot Harsono mengatakan rekomendasi tim yang tertulis memang tidak ada yang sesuai dengan keputusan Menkominfo, tapi rekomendasi yang lisan jauh lebih banyak.
Menurut dia, Menteri memilih salah satu saja. Pemerintah tidak menempuh kata pengembalian tapi rebalancing atau pengaturan ulang.
Hasil akhir dari penataan frekuensi adalah keseimbangan daya saing dari 3 besar, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL.
Hal ini bertentangan dengan pernyataan anggota BRTI lain, Sigit Puspito Widadi yang pernah menyatakan bahwa tim Ad Hoc memberikan rekomendasi terbaik yang mengasumsikan pangsa pasar Telkomsel tergerus sedangkan Indosat tetap.
Dengan kondisi tersebut menurut Sigit lagi, persaingan usaha akan bagus. Dia juga menyatakan bahwa pangsa pasar Asumsi XL dan Axis harus dijaga di level aman mulai dari 27 persen sampai 39 persen.
Gunawan melihat hal ini sebagai keanehan karena BRTI sebagai regulator melakukan pengkondisian pasar yang seharusnya terjadi secara natural.
Di sisi lain Nonot tidak menjawab kenapa harus dialokasikan di 1800 MHZ, dia hanya mengatakan fokus rebalancing adalah di pita 1800 MHZ dan 2,1 GHZ, jadi bisa dipilih salah satu atau keduanya.
Munculkan Polemik
Proses merger antara PT XL Axiata Tbk (XL) dan PT Axis Telekom Indonesia terus memunculkan polemik. Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidik, menegaskan bahwa pengalihan langsung semua frekuensi 1.800 eks Axis kepada XL melanggar ketentuan perundang-undangan, yakni UU Telekomunikasi No. 36/1999.
Menurut politisi dari PKS itu, proses merger operator telekomunikasi tidak bisa dilakukan secara langsung. Sebab hal itu menyangkut frekuensi yang merupakan hak pakai, sehingga harus dikembalikan kepada negara. Apalagi KPPU dan DPR belum memberikan persetujuan. Seperti halnya KPPU, DPR juga mencium berbagai kejanggalan dibalik proses merger yang cenderung menguntungkan XL Axiata, yang note bene merupakan operator milik Malaysia.
“Dengan alasan apa pun, apalagi cuma sekadar menyelamatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 1 triliun, frekuensi tidak bisa langsung dialihkan begitu. Itu harus kembali dulu kepada negara, baru kemudian direalokasikan dengan menggunakan sistem lelang atau evaluasi”, tegas Mahfudz.
Selain menegaskan bahwa proses merger tak sesuai dengan regulasi, Mahfudz juga mengingatkan kepada Menkominfo Tifatul Sembiring untuk lebih mempertimbangkan kepentingan nasional ketimbang semata urusan komersial. Harusnya kisruh penyadapan oleh beberapa negara asing terhadap Indonesia, dapat dijadikan momentum untuk memperbaiki dan menata ulang sektor telekomunikasi yang semakin karut marut sebagai akibat dari liberalisasi telekomunikasi yang masif dilakukan pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
“Praktek penyadapan yang mengindikasikan keterlibatan operator-operator yang sahamnya merupakan milik asing, jelas merupakan faktor politik yang mengancam kepentingan nasional”, tandas Mahfudz.
Menurut Mahfudz, penguasaan asing yang dominan di industri telekomunikasi, telah membuat operator asing merajalela, bahkan mampu mendikte arah dan perkembangan bisnis yang sesuai dengan kepentingan mereka. Mahfudz mencontohkan, tidak adanya ketegasan regulator terhadap operator yang mangkir dari ketentuan modern lisencing. Padahal pada saat diberikan lisensi, semua operator telah menyatakan kesanggupan untuk membangun jaringan hingga ke pelosok dan daerah perbatasan. Ironisnya, kondisi yang sama juga terjadi pada operator yang berhasil membangun jaringan hingga ke pelosok Indonesia, namun regulator kurang memberikan apresiasi atas prestasi yang diraih.
Untuk itu, sebagai fungsi pengawasan, DPR berencana akan segera memanggil Menkominfo Tifatul Sembiring melalui mekanisme RDP (Rapat Dengar Pendapat) guna menjelaskan proses merger yang terlihat mengandung banyak kejanggalan dan tidak memperhatikan kepentingan nasional. RDP diharapkan dapat terlaksana pada masa sidang perdana awal 2014.
“Melalui RDP diharapkan agar proses merger dapat berlangsung transparan dan menghasilkan kebijakan yang sepenuhnya dapat menguntungkan negara”, tandas Mahfudz.
Sejumlah anggota Komisi I DPR dan beberapa pengamat ekonomi juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang mengizinkan merger XL dan Axis. Anggota DPR dari Komisi I Tantowi Yahya secara tegas mengatakan, pemberian semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL bertentangan dengan regulasi.
“Frekuensi tidak diperkenankan untuk dijual bebas. Apalagi jika hal itu hanya didasarkan pada aspek komersial semata,” kata Tantowi.
Meski peraturan membolehkan menteri untuk mengalihkan izin frekuensi, Tantowi menilai aspek kepentingan bangsa alias Merah Putih harusnya lebih dikedepankan, sehingga perlu dikonsultasikan denganstakeholder lainnya. Karenanya, imbuh Tantowi, agar tidak berpotensi merugikan negara, seluruh frekuensi yang dikelola oleh Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulangdan dikelola oleh operator memiliki komitmen mewujudkan inklusi telekomunikasi.
“Selama ini, perusahaan asing di Indonesia terbukti hanya mencari keuntungan bisnis semata, bukan untuk kepentingan masyarakat luas hingga ke pelosok tanah air,” ujarnya.
Anggota DPR dari F-PAN Chandra Tirta Wijaya mengatakan bahwa Menkominfo Tifatul Sembiring keliru dalam mengambil keputusan terkait merger XL-Axis. Untuk itu, Komisi I DPR lanjut dia, akan meminta Menkominfo klarifikasi kepada DPR.
“Merger antara XL-Axis tersebut berisiko merugikan negara, akibat peralihan frekuensi dari perusahaan Arab Saudi itu kepada perusahaan Malaysia itu. Penguasaan frekuensi kepada asing selama ini justru pemanfaatannya tidak maksimal,” tegas Chandra.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Ikhsan Mojo menilai merger XL dan Axis berpotensi mengganggu pangsa pasar di industri telekomunikasi Indonesia. Pasalnya, ada pemain lain yang akan terlampaui konsentrasi pasarnya jika XL dan Axis merger. Terlebih lagi, konsentrasi pasar perlu diperhatikan regulator dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar tidak terjadi pelanggaran seperti 2008-2009.
Menurut dia, lembaga legislatif perlu menelusuri dan menyelidiki aksi korporasi ini sehingga dapat dicegah dan ditindak sesuai regulasi yang berlaku. “Jangan sampai konsumen dan negara dirugikan,” tuturnya.(*/berbagai sumber)