Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia kian memburuk pada minggu terakhir Agustus 2015 menyusul rentetan sentimen negatif yang bersumber dari dalam maupun luar negeri, terutama China. Perekonomian yang memburuk dilihat dari kurs rupiah yang terjun bebas ke level Rp 14.000/US$, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok dalam ke level 4.109 poin, dan gelombang PHK yang menghantui sektor industri.
Bahkan, raksasa investasi global, JP Morgan, menyarankan investor untuk keluar dari Indonesia dengan melepaskan rupiah dan obligasi Indonesia. Hal ini semakin mengancam nilai tukar rupiah dan diprediksi menyentuh Rp 14.300/US$. Komisi XI DPR RI juga menyebut ekonomi negara ini terancam krisis sehingga perlu langkah konkret dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI) agar meredam kondisi tersebut.
Berbicara soal krisis ekonomi, Indonesia pernah mengalami kondisi tersebut pada 1997-1998 saat nilai tukar rupiah merosot tajam dalam waktu singkat, dari posisi Rp 2.500/US$ dan menyentuh puncaknya di level Rp 16.700/US$. Ketika itu, 21 Juli 1997, melemahnya nilai tukar rupiah dikenal sebagai krisis moneter. Krisis moneter itu berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis politik, yang diakhiri mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Pelajaran atas krisis 1997/1998 itu, antara lain, dicatat oleh Hal Hill, Guru Besar Ekonomi Australian National University, dalam buku The Indonesian Economy in Crisis, Causes, Consequences, and Lessons (Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 1999). Saat itu, 1 Juli 1997, mata uang baht Thailand mulai melemah terhadap dolar AS. Pelemahan baht tersebut menular ke Indonesia dua puluh hari kemudian, 21 Juli. Rupiah melemah 7 persen terhadap dolar AS. Pada 1 September 1997, pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi untuk meresponsnya.
Pada 8 Oktober, pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Dua puluh hari kemudian, 28 Oktober, pasar modal anjlok, yang dikenal sebagai ”Selasa Hitam”. Pada 31 Oktober, pemerintah menandatangani perjanjian dengan IMF berikut fasilitas pinjaman siaga 38 miliar dollar AS. Tindak lanjut dari kesepakatan itu, 16 bank dilikuidasi pada 1 November. Pada 3 November, pemerintah kembali mengumumkan paket kebijakan ekonominya.
Pada 6 Januari 1998, pemerintah mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang dinilai tidak realistis. RAPBN 1998 itu mengasumsikan nilai tukar rupiah Rp 4.000 per dollar AS, pertumbuhan ekonomi 4 persen, dan inflasi 9 persen. Faktanya, pada 10 Januari, rupiah langsung menembus angka psikologis Rp 10.000 per dollar AS. Turbulensi ekonomi itu mulai mereda pada 3 Mei 1999 ketika pertumbuhan ekonomi triwulan I tercatat positif 1,34 persen.
Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Pertama, utang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek telah menciptakan kondisi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola utang pemerintah (atau utang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi, untuk utang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan.
Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa utang swasta tersebut benar-benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai Juli 1997, 85% dari penambahan utang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis.
Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi utang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997).
Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, utang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”.
Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dolar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) utang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah utang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit.
Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi.Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia.
Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.(*/berbagai sumber)