Latest News
You are here: Home | Kimia | Menakar Ketidakpastian Krisis Ekonomi di Tengah Fluktuasi Rupiah
Menakar Ketidakpastian Krisis Ekonomi di Tengah Fluktuasi Rupiah

Menakar Ketidakpastian Krisis Ekonomi di Tengah Fluktuasi Rupiah

Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Di akhir Agustus 2015, publik kembali dihebohkan dengan fluktuasi tajam nilai tukar rupiah yang sempat menembus level tertinggi Rp 14.196/US$ pada 26 Agustus 2015. Hal itu diperparah dengan adanya saran raksasa investasi global, JP Morgan, untuk melepas rupiah sehingga nilai tukar mata uang negeri ini makin tertekan.

Namun, sehari setelahnya, JP Morgan meminta maaf dan Menteri Keuangan RI Bambang Brodjonegoro telah menghukum perusahaan investasi asal Amerika Serikat tersebut. Dampaknya, nilai tukar rupiah menguat ke level Rp 13.997/US$ dan acuan pasar saham Indonesia (indeks harga saham gabungan/IHSG) naik tajam 192,89 poin (4,5%) ke posisi 4.430,63.

Penguatan sesaat rupiah juga sejalan dengan imbauan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo bahwa Indonesia belum berada di kondisi krisis ekonomi. Perekonomian Indonesia saat ini memiliki fundamental yang jauh lebih baik ketimbang tahun 1998. Karena itulah, Gubernur BI menegaskan, ekonomi Indonesia belum ada di tahap krisis.

Namun, 28 Agustus 2015 nilai tukar rupiah kembali melemah ke level Rp 14.064/US$. Pergerakan fluktuasi nilai tukar rupiah yang seperti rollercoaster ini sangat kental terpengaruh dengan berbagai sentimen yang berkembang.

Dua faktor utama yang akan mempengaruhi fluktuasi rupiah antara lain devaluasi yuan serta rencana kenaikan suku bunga The Fed (Bank Sentral AS). Devaluasi yuan akan membuat harga barang ekspor China menjadi murah. Logikanya, ini akan menolong ekspor RRT tumbuh dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut. Namun, sejauh mana efektivitas dari strategi itu di tengah pelemahan ekonomi global, dan apakah justru strategi itu bisa menjadi bumerang bagi China, kita perlu mencermati lebih lanjut.

Sedangkan terkait rencana kenaikan suku bunga The Fed, salah satu yang menahan The Fed untuk segera melakukan kenaikan bunga adalah tingkat inflasi di AS yang masih rendah. Jika langkah devaluasi yuan akan menimbulkan efek deflasi, target inflasi di AS akan semakin lama tercapai. Karena itu, pada akhirnya kita harus melihat perkembangan di AS karena keputusan The Fed akan bergantung pada data. Artinya, ketidakpastian akan terjadi. Dan, semakin lama The Fed menunda kenaikan bunga, semakin tinggi ketidakpastian pasar.

Di saat yang sama, sejumlah pelaku industri di Indonesia sudah tidak mampu menahan dampak negatif pelemahan rupiah yang sempat mencapai Rp 14.196/US$. Kelesuan ekonomi yang memicu pelemahan daya beli mulai berdampak ke sektor industri. 10 industri garmen dan tekstil di Kota Tangerang terancam bangkrut dan menutup pabrik. Sebanyak 1.800 karyawan terpaksa dirumahkan.

Duniaindustri.com menilai ancaman kebangkrutan memang menghantui industri garmen yang menjual produknya di pasar lokal. Kelesuan ekonomi akan memangkas permintaan garmen di pasar domestik, sementara biaya produksi cenderung naik. Sedangkan pabrik garmen yang berorientasi ekspor masih bisa bertahan karena menikmati laba kurs, menyusul depresiasi rupiah hingga Rp 14.140/US$.(*/berbagai sumber)

invest with us

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top