Duniaindustri.com (Desember 2014) – Mata uang Rusia, ruble, terus menurun sepanjang tahun ini hingga 49% menjadi 64 per dolar AS, penurunan terbesar sejak 1998, mengindikasikan kejatuhan ekonomi negara tersebut seiring pelemahan harga minyak dunia dan sanksi atas Ukraina. Menghadapi hal itu, Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga secara drastis, hingga 650 basis poin, menjadi 17% dari sebelumnya 10,5%.
Tekanan dari Rusia ikut mempengaruhi penguatan dolar AS terhadap sejumlah mata uang di dunia, termasuk rupiah. Hari ini rupiah terus merosot hingga level 12.983 terhadap dolar AS. Dalam dua hari terakhir, rupiah anjlok 5% terhadap dolar AS.
Bank Indonesia (BI) saat ini mencermati kejadian perekonomian Rusia yang sedang mengalami tekanan berat. Hal ini bertujuan agar Indonesia bisa mengantisipasi kejadian yang mungkin dapat terjadi di negeri ini.
“Rusia alami tekanan berat. Harga minyak rendah, makanya jadi tekanan,” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswawa.
Mirza mengatakan, pelemahan mata uang Rusia dan juga harga minyak yang rendah membuat negara tersebut terpaksa menaikkan policy rate-nya sebesar 650 basis poin. Selain itu, pendapatan Rusia yang terbesar berasal dari minyak sehingga menekan cukup dalam.
“Ini memang membuat dampak pada emerging market. Nah, Indonesia kan termasuk dalam emerging market,” kata dia.
Bank Indonesia akan melakukan sejumlah upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang terus melemah, hingga ke level terendah 16 tahun terakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Rakor RAPBN-P 2015 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (16/12), mengatakan dengan koordinasi, BI terus melakukan langkah-langkah stabilitasi nilai tukar rupiah. Agar dampak penguatan dolar AS terhadap rupiah tetap terkendali.
“Itu yang terus kita lakukan. Yang sudah kita lakukan, dalam konteks stabilisasi rupiah, kita tentu berada di pasar dan melakukan intervensi di pasar valas. Itu kita lakukan,” kata Perry.
Perry menuturkan, merupakan tugas BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah agar pergerakannya sejalan dengan fundamental. Untuk itu, ia memastikan BI selalu berada di pasar. “Kedua, kita juga melakukan pembelian SBN dari pasar sekunder. Ini langkah-langkah kita dalam menstabilisasi pasar, khususnya pasar SBN,” ujarnya.
Dengan intensitas penekanan dolar ke rupiah lebih besar, lanjutnya, maka intensitas intervensi maupun pembeli SBN dari pasar sekunder juga meningkat. Hasilnya rupiah bisa berangsur kembali membaik. “Alhamdulillah nilai tukar mulai membaik. Terakhir kali, kalau tidak salah, rupiah diperdagangkan Rp12.700-an, mulai agak stabil di situ. Ini langkah-langkah yang kita lakukan dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintah,” jelasnya.
Ia menambahkan, upaya yang akan dilakukan, di samping memantau, melakukan stabilisasi, membeli SBN dari pasar sekunder, juga melakukan pengelolaan likuiditas di pasar agar rupiah tetap terjaga. Antara lain dengan meningkatkan lelang di beberapa instrumen moneter, termasuk SBI 9 bulan.
“Langkah-langkah ini dilakukan agar rupiah terjaga. Esensinya BI akan melakukan stablitas pasar, kita akan di pasar, kita akan intervensi melalui valas, dan pembelian SBN di pasar sekunder dan melakukan stabilitas di pasar, dan rupiah ke depannya akan lebih stabil,” tutur Perry.(*/berbagai sumber)