Duniaindustri.com (September 2015) – Mata rantai (supply chain) industri di Indonesia dinilai belum lengkap karena masih banyak celah dalam struktur industri nasional yang belum terisi. Hal itu menyebabkan kebutuhan industri hulu hingga ke hilir masih bergantung pada impor.
Duniaindustri.com mencatat sekitar 64% dari total bahan baku, bahan penolong, serta barang modal dari industri nasional masih bergantung pada impor untuk mendukung proses produksi. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang diperoleh Duniaindustri.com, rata-rata impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal itu berasal dari sembilan sektor industri yakni perrnesinan dan logam, otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp dan kertas.
Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Dr Joubert Maramis menilai Indonesia perlu mengembangkan industri berbasis ekspor menghadapi ekonomi dunia yang tidak stabil saat ini, serta memperkuat struktur industri nasional.
“Bagi saya, infrastruktur berkualitas dunia itu penting. Namun arah pengembangan industri berbasis ekspor dan struktur pengembangan industri yang berbasis knowledge based economy jauh lebih penting bagi perekonomian Indonesia di masa depan,” kata Joubert.
Tidak heran, dengan adanya celah dalam mata rantai industri di Indonesia, produk impor makin merajalela. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Juni 2015, neraca perdagangan Indonesia-China mengalami defisit hingga US$ 8 miliar.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, nilai ekspor Indonesia ke China pada semester I ini mencapai US$ 6,64 miliar. Sedangkan nilai impor lebih tinggi, menembus US$ 14,70 miliar. “Masih defisit US$ 8,05 miliar Januari-Juni 2015. Sementara pada Juni ini, nilai ekspor dan impor RI ke China masing-masing US$ 1,23 miliar dan US$ 2,62 miliar. Jadi defisit Juni ini US$ 1,39 miliar,” ujar dia.
Menurut dia, China menjadi tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia di urutan ketiga, setelah Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Pangsa pasar Indonesia ke China US$ 6,65 miliar atau 9,37%. “Memang terjadi penurunan ekspor kita ke China di Januari-Juni ini (yoy) 29,75% dan secara bulanan naik 11,73%. Ini karena perlambatan ekonomi China, dengan ekspor utama bijih logam, katun, alas kaki, besi dan baja,” terangnya.
Sementara untuk impor Indonesia, kata Suryamin, China menduduki pangsa pasar nomor satu dengan realisasi US$ 14,71 miliar atau 24,17%. Impor ini turun 3,02% secara tahunan, tapi naik 17,34% secara bulanan. Impor Indonesia yang paling besar dari China adalah mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik serta sebagainya.
Kenaikan impor itu disebabkan oleh kian murahnya produk-produk itu secara relatif dibandingkan dengan impor serupa dari negara lain. Akibatnya Indonesia menggantikan negara asal impornya dari Jepang, Eropa, dan AS ke China. Dari laporan berbagai asosiasi industri diketahui, industri sepatu diperkirakan paling terpukul oleh serbuan produk impor. Sepatu produksi dalam negeri akan mengalami penurunan pangsa pasar dari 60% menjadi 50%. Selain sepatu, industri mainan anak akan terpukul akibat serbuan barang impor China. Sekitar 80-90% pangsa pasar mainan dalam negeri akan dikuasai oleh produk dari China. Industri lain yang mengalami tekanan adalah lampu hemat energi. Pangsa pasar lampu hemat energi dalam negeri diperkirakan turun dari 20% menjadi 15%.
Hampir 90% produk industri yang ada di Indonesia didominasi barang dari China. Produk ‘made in China’ merambah dari mulai mainan anak, baterai, pakaian, sepatu, produk plastik, tas, alat rumah tangga, elektronik, pernak-pernik hadiah unik, peralatan rumah tangga, jam tangan dan aksesoris, produk fashion, hingga produk berat seperti semen, keramik, dan lainnya. Hanya sedikit sektor industri yang tidak diproduksi China, antara lain rokok kretek dan makanan khas Indonesia.
Seharusnya, pemerintah mulai memberikan insentif lebih bagi pengusaha lokal untuk masuk ke industri pionir guna melengkapi mata rantai industri nasional. Hal itu akan mengurangi ketergantungan produk impor, menghemat devisa, dan menyerap tenaga kerja baru.(*/berbagai sumber)