Latest News
You are here: Home | Agroindustri | Malaysia dan Indonesia Berencana Keluar dari RSPO
Malaysia dan Indonesia Berencana Keluar dari RSPO

Malaysia dan Indonesia Berencana Keluar dari RSPO

Duniaindustri.com (November 2013) — Malaysian Palm Oil Association (MPOA) akan keluar dari keanggotaan Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO). Hal ini dikatakan Ketua Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI) Rosediana Soeharto dan Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad.

“MPOA memang mau keluar (dari RSPO),” kata Rosediana.

RSPO dinilai gagal memperjuangkan kepentingan minyak sawit di Eropa dan Amerika. Selain itu, harga premiun juga tidak berlaku, padahal biaya yang dikeluarkan untuk sertifikasi tidak kecil. “Akan beda ceritanya kalau RSPO melakukan kampanye internasional tentang minyak sawit sehingga produsen simpati,” tutur dia.

Alasan lain keluarnya asosiasi sawit dari negara produsen terbesar dunia adalah hingga saat ini anggota belum merasakan manfaat menjadi anggota RSPO.

RSPO dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) termasuk MSPO sebenarnya memiliki tujuan yang sama. Persoalannya, produsen sawit perlu punya kedaulatan. Untuk itu, negara produsen sawit berencana membuat ASEAN Sustainable Palm Oil.

Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad menilai, RSPO tidak lagi kredibel karena dua asosiasi produsen sawit terbesar sudah hengkang. RSPO memang dapat berjalan seperti biasa, tetapi anggota RSPO sebagian besar adalah anggota Gapki dan MPOA.

Asmar menyayangkan mengapa hingga saat ini masih ada anggota Gapki yang masih tercatat sebagai anggota RSPO. “Itu menunjukkan mereka tidak kompak. Apkasindo pernah mengatakan agar menyetop ekspor minyak sawit ke Eropa dan Amerika. Sebagai gantinya, pengusaha bisa mencari pasar baru yang lebih kompetitif dan tidak macam-macam,” papar Asmar.

Menurut dia, keluarnya MPOA dari RSPO tersebut tidak mengherankan mengingat policy and criteria (PNC)-nya tinggi karena memasukkan hak asasi manusia (HAM), pestisida, korupsi, dan pekerja anak. “Kalau bicara lingkungan, semua berbicara sama. Menjaga lingkungan dan tanah adat bagus, tetapi janji RSPO tidak pernah dibuktikan,” ujar dia.

Janji yang tidak terpenuhi tersebut salah satunya yaitu tidak terbuktinya harga premium untuk tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit. Di sisi lain, petani membutuhkan biaya besar untuk memperoleh sertifikat RSPO.

Akibatnya, saat ini tidak ada petani swadaya yang mampu memperoleh sertifikat RSPO. Sedangkan petani yang saat ini mengantongi sertifikat RSPO adalah petani plasma karena memperoleh bantuan dari inti.

Menurut Asmar, semua yang terjadi adalah tentang persaingan dagang karena minyak sawit lebih efisien ketimbang tanaman minyak nabati lainnya. Luas kebunj sawit Indonesia saat ini 9,3 juta hektare (ha) dan 14 juta ha di dunia. Sedangkan luas lahan kedelai dan bunga matahari mencapai 500 juta ha tetapi tidak diributkan.

Ketua Eksekutif MPOA Dato’ Makhdzir Mardan ketika dikonfirmasi menjawab diplomatis. Dia mengatakan bahwa produsen sawit tidak boleh bergantung kepada negara lain, tapi harus bergantung kepada kemampuan sendiri.

“Kita jangan serahkan masa depan kita kepada orang lain, karena mereka yang akan menentukan semuanya,” kata Mardan ketika mengikuti The 11th Rountable Meeting on Sustainable Palm Oil (RT11) di Medan, Selasa (12/11). Mardan mengikuti acara tersebut bersama dengan Director Marketing & Promotion MPOA Tan Being Huat.

Karena itu, akhir bulan ini, kata Mardan, Malaysia akan membuat Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Keberadaan MSPO, kata dia, agar produsen sawit di Malaysia tidak menggantungkan nasibnya kepada Eropa dan Amerika Serikat.

Pembentukan MSPO tersebut, kata dia, karena produsen sawit Malaysia yang selama ini menjadi anggota RSPO merasa tidak nyaman berada di organisasi tersebut. “Kalau kita nyaman kenapa kita akan buat MSPO?,” katanya.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top