Duniaindustri.com (September 2015) – Pemerintah akan memberikan batas waktu 1,5 tahun ke depan kepada perusahaan perkebunan sawit untuk memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Batas waktu tersebut diberikan untuk mengurus legalitas sebelum nantinya diberikan sanksi pencabutan izin usaha perkebunan.
Rosediana Suharto, Ketua Harian Komisi ISPO, mengatakan tidak sedikit kasus yang terjadi terhadap lahan perkebunan milik perusahaan perkebunan yang secara hukum merupakan ilegal. Jika ditelaah lebih lanjut, penerapan sertifikasi ISPO kepada perusahaan perkebunan sawit menjadi hikmah tersendiri untuk menguak permasalahan-permasalahan yang terjadi pada sektor industri ini.
Dia mencontohkan, misalnya perusahaan perkebunan mendapatkan izin lokasi 10 ribu hektare, selanjutnya perusahaan tersebut mendapatan izin usaha perkebunan (IUP) 6 ribu hektare, sementara hak guna usaha (HGU) hanya 5 ribu hektare. “Berarti yang 5 ribu hektare yang belum dapat HGU itu kan ilegal. Apabila kita mau mengacu pada peraturan perundang-undangan atau Perpu No 60/1960 bisa kena sanksi tiga bulan penjara,” tuturnya.
Kasus seperti ini disinyalir sebagai jawaban mengapa proses kepemilikan sertifikasi ISPO dinilai lambat. Namun Roesdiana menolak keras anggapan tersebut. Alasannya, sertifikasi tersebut tidak dapat diterima apabila masih ada pelanggaran yakni masalah legalisasi lahan perkebunan.
“Sebetulnya kalau dikatakan lamban, tidak juga. ISPO ini kita jalankan sesuai dengan peraturan. Jadi apabila mereka tidak memenuhi peraturan, otomatis tidak bisa melakukan sertifikasi,” tambahnya. Dia mengatakan dari 200 perusahaan perkebunan sawit yang masuk saat ini lebih dari setengahnya tidak memenuhi peraturan.
Dia mencontohkan saat ini banyak sekali perusahaan yang mencoba memasukkan lahan yang tidak legal ke sertifikasi ISPO dengan menyiasati peningkatan produktivitas. “Jadi aneh bin ajaib, ada perusahaan perkebunan berumur 24 tahun, produktivitasnya mencapai 35 ton tandan buah segar (TBS) per hektare, itu kan tidak mungkin. Kami bukannya tidak mampu menanganinya secara cepat, tapi banyak yang kami kembalikan karena tidak memenuhi syarat,” ungkapnya.
Saat ini banyak perusahaan perkebunan yang berbondong-bondong mencari HGU. Ini merupakan implikasi diberlakukannya ISPO yang mensyaratkan hal tersebut.
Saat ini tercatat sekitar 1.200 perusahaan perkebunan sawit yang mencari HGU. Dari jumlah itu, yang sudah diberikan oleh pemerintah hanya 886 perusahaan. Dari 886 tersebut yang sudah masuk mendaftar ISPO 227, dan yang masih dalam penilaian hanya 127. “Sementara yang 127 perusahaan tersebut kebanyakan tidak punya legalitas. Legalitas yang kami minta IUP,” tegasnya.
Menurut dia, pemerintah sudah menyiapkan regulasi terkait hal tersebut. “Apabila pada 2014 akhir mereka belum memperlihatkan keinginan untuk bisa sertifikasi ISPO, akan diberikan waktu 1,5 tahun. Apabila dalam kurun waktu tersebut tidak ada keinginan untuk selesaikan permasalahan terkait legalitas, maka IUP-nya akan dicabut,” tegasnya.
Sejak 2006 Indonesia telah menjadi negara pengekspor CPO terbesar di dunia. Namun isu keberlanjutan dan pengrusakan lingkungan di industri kelapa sawit membuat pemasaran CPO ke pasar internasional terhambat.
Herdrajat Natawijaya, Direktur Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian, mengatakan satu-satunya cara yang bisa dilakukan pelaku usaha kelapa sawit adalah melakukan sertifikasi sebagai bukti produk yang dihasilkan telah sesuai dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional.
“Pengembangan kelapa sawit harus dilakukan sesuai kaidah pembangunan berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 tahun 2011 tentang ISPO,” paparnya.
Herdrajat menambahkan, kemunduran bisnis industri ini terkait kesulitan meningkatkan ekspor berpotensi merugikan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Kementerian Pertanian mencatat, industri ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja perkebunan di seluruh Indonesia. Angkanya jauh lebih besar jika perhitungan termasuk tenaga kerja di bidang jasa penunjang industri.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: