Duniaindustri.com (Mei 2014) — Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal atau yang lebih dikenal layoff di perusahaan rokok terutama sigaret kretek tangan (SKT) merupakan fenomena gunung es yang dapat menjalar ke sektor industri lain. Selain karena perubahan pola konsumsi, tren ini disebabkan ketidaksiapan korporasi mengantisipasi tren yang terjadi, menurut penilaian duniaindustri.com.
Tak heran, produsen rokok terbesar di Indonesia, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 4.900 karyawannya yang berada di Jember dan Lumajang. Pemutusan hubungan kerja itu seiring dengan ditutupnya dua pabrik yang berlokasi di daerah tersebut pada 31 Mei 2014.
Menurut Sekretaris Perusahaan Sampoerna, Maharani Subandhi, langkah itu diambil seiring dengan rencana untuk merestrukturisasi operasional pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT). Pada saat bersamaan, perseroaan tetap fokus melanjutkan produksi SKT di lima pabrik lainnya di Surabaya (Rungkut I, Rungkut II dan Taman Sampoerna), Malang dan Probolinggo.
“Hal ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi manajemen Sampoerna, sekaligus merupakan kabar yang tidak baik bagi para karyawan kami, khususnya mereka yang terdampak secara langsung di pabrik SKT Jember dan Lumajang,” papar dia dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/5/2014).
Bagi karyawan yang terkena PHK akan mendapatkan paket pesangon yang jumlahnya lebih besar dari yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-undang (UU) Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003. Di samping itu, pihak perusahaan juga akan membayarkan tunjangan hari raya (THR) Idul Fitri untuk tahun 2014 ini.
Selain paket pesangon dan THR tersebut, Sampoerna juga memberikan kesempatan kepada para karyawan di pabrik SKT Jember dan Lumajang untuk mengikuti program pelatihan kewirausahaan, yang diharapkan dapat membantu mereka dalam mendapatkan keahlian baru dan mencari sumber penghasilan lainnya.
Maharani menuturkan, keputusan itu diambil perseroan karena adanya penurunan pangsa pasar segmen SKT secara terus menerus hingga 23,1% pada tahun 2013, dari 30,4% di 2009. Hal ini terjadi karena perubahan preferensi perokok dewasa dari sigaret kretek tangan ke sigaret kretek mesin dengan filter.
Menurutnya, penurunan yang terjadi di tahun 2013 merupakan penurunan yang sangat besar dan tidak pernah terjadi sebelumnya, sehingga memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kinerja merek‐merek SKT Sampoerna, di mana volume penjualan perseroan mengalami penurunan sebesar 13% pada 2013.
“Total volume SKT industri terus mengalami penurunan hingga kuartal pertama tahun 2014 mencapai 16.1%. Kami tidak melihat akan adanya perubahan tren pada segmen SKT dalam waktu dekat,” tandas Maharani.
Keputusan untuk menutup kedua pabrik SKT Sampoerna merupakan pilihan terakhir yang telah dipertimbangkan secara menyeluruh untuk memastikan iklim usaha dan iklim kerja yang stabil dan berkesinambungan bagi perusahaan maupun keseluruhan karyawan produksi SKT Sampoerna.
“Meskipun penutupan pabrik SKT di Jember dan Lumajang akan menyita perhatian dan fokus kami, Sampoerna tetap berkomitmen untuk mempertahankan posisinya sebagai pemimpin di industri rokok Indonesia,” paparnya.
Sampoerna akan terus memproduksi dan menawarkan produk berkualitas tinggi bagi perokok dewasa, serta mengokohkan perusahaan sebagai pusat produksi untuk ekspor di kawasan Asia Pasifik di tahun‐tahun mendatang. Khususnya di area Jember dan Lumajang, Sampoerna akan terus membeli tembakau dalam jumlah besar untuk digunakan dalam produk perseroan sehingga membantu perekonomian setempat.
“Sampoerna juga tetap berkomitmen untuk beroperasi di Indonesia dengan lebih dari 33.500 karyawan di lima pabrik SKT, dua pabrik SKM, dan 105 kantor area penjualan di seluruh di Indonesia,“ tutup Maharani.
Fenomena Gunung Es
Disebut fenomena gunung es karena diperkirakan layoff bukan hanya terjadi di perusahaan-perusahaan rokok skala besar, tapi juga di perusahaan-perusahaan skala menengah kecil. Betul saja, Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) memastikan seluruh pabrikan rokok di Indonesia yang memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) mengalami penurunan produksi. Hal ini merupakan tren umum yang terjadi di pasar rokok SKT dalam negeri terkait pergeseran pasar dari SKT ke Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti. Dia menjelaskan masalah penurunan penjualan tak hanya dialami oleh Sampoerna. Ia mengatakan para pabrikan besar yang juga memproduksi SKT seperti Gudang Garam, Bentoel, Djarum dan lainnya mengalami hal sama.
Namun ia mengatakan soal langkah penutupan pabrik atau pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi kebijakan masing-masing perusahaan. Ia pun tak membantah risiko penutupan pabrik hingga PHK akan berlanjut karena kondisi pasar yang tak lagi kondusif bagi produk SKT di dalam negeri.
“Soal apakah penutupan pabrik dan PHK itu tergnatung dari mereka. Setiap pabrikan punya cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah penurunan pasar, artinya bisa saja mengurangi jam kerja, walaupun kemungkinan itu (tutup pabrik dan PHK) bisa terjadi lagi,” katanya.
Ia juga tak bisa memungkiri bahwa tren penurunan pasar SKT bisa saja terus berlanjut, namun setiap pabrikan punya proyeksinya masing. Sebagai gambaran, pada 2009 komposisi pangsa pasar rokok SKT di Indonesia masih mencapai 30,4% tetapi tahun lalu hanya 23%.
“Setiap pabrikan punya sendiri proyeksinya, mereka punya perkiraan masing-masing. Nanti kalau saya sampaikan bisa dimarahin oleh para pabrikan rokok,” katanya tertawa.
Menurutnya mayoritas pangsa pasar rokok SKT di Indonesia adalah konsumen dengan usia lanjut. Namun ada juga konsumen usia muda yang menikmati rokok SKT. “Rokok SKT paling banyak konsumsi di sini (Indonesia), perokoknya tua kebanyakan, tapi orang muda juga ada,” katanya.(*/berbagai sumber)