Duniaindustri.com (Januari 2019) — Ekonom senior Faisal Basri mengungkap data menghebohkan bahwa Indonesia menjadi importer gula terbesar di dunia pada periode 2017-2018. Apalagi menjelang pemilihan umum (pemilu), impor besar-besaran itu diduga menjadi permainan sejumlah pihak untuk modal di perhelatan pemilu.
“Menjelang pemilu, tiba-tiba Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di dunia. Praktek rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan,” ujar Faisal di akun medsos twitter miliknya, Rabu (9/1).
Faisal yang juga Dosen Ekonomi Universitas Indonesia itu mengutip data Statista—lembaga penelitian global bahwa pada periode 2017-2018 Indonesia mengimpor 4,45 juta ton, tertinggi secara global. Impor gula Indonesia melampaui China dengan jumlah 4,2 juta ton, Amerika Serikat 3,11 juta ton, Uni Emirat Arab 2,94 juta ton, Bangladesh 2,67 juta ton, Algeria 2,27 juta ton, Malaysia 2,02 juta ton, Nigeria 1,87 juta ton, Korea Selatan 1,73 juta ton, dan Arab Saudi 1,4 juta ton.
“Segala upaya telah dilakukan Pemerintah untuk menekan defisit perdagangan, kecuali memerangi praktek pemburuan rente dan memecat Menteri Perdagangan,” kata Faisal.
Impor besar-besaran yang diungkap Faisal Basri itu memang kontradiksi dengan program ketahanan pangan pemerintah saat ini. Selain gula, pemerintah juga berencana mengimpor jagung sebanyak 30 ribu ton pada 2019. Upaya itu dilakukan lantaran harga jagung untuk pakan ternak yang belakangan ini cenderung merangkak naik.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, keputusan impor jagung itu merupakan hasil dari rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Impor jagung ini akan dilakukan oleh Perum Bulog. Enggar menegaskan, pihaknya masih memproses perizinan impor tersebut.
Dia menegaskan, impor dilakukan karena RI kekurangan jagung. Mengenai produksi jagung, dia mengaku tidak mengetahui secara persis bagaimana kinerjanya saat ini. “Ya kurang. Tanyanya sama yang produksi (Kementan),” katanya.
Sementara itu, Ekonom INDEF Rusli Abdullah menilai program ketahanan pangan dan swasembada pemerintah masih meleset dari target karena perencanaan yang belum valid.
“Pemerintah kita belum mampu swasembada pangan. Gagal. Bahkan yang terbaru, pakan jagung untuk ternak saja masih impor. Kemarin ada impor beras 2,8 juta ton. Kedelai untuk bahan baku tempe dari Argentina dan Amerika juga impor. Termasuk gandum,” ujarnya.
Dia menyebutkan, data perencanaan pemerintah Jokowi-JK terkait swasembada pangan pada tahun 2014 sangat carut-marut. Meski demikian, ia optimis perencanaan swasembada pangan di tahun 2019 lebih baik karena memiliki data yang valid.
“Pemerintah saat ini dalam perwujudan kedaulatan pangan masih semrawut. Tapi mungkin di tahun 2019 lebih tertata dan lebih baik dari tahun sebelumnya. Minimal datanya lebih akurat,” ujarnya.
Sesuai mandat pemilu 2014, kata Rusli, seharusnya Jokowi lebih memprioritaskan janji kampanye yang dapat direalisasikan. “Sebisa mungkin Pak Jokowi seharusnya menepati janji yang dapat ditepati sampai Oktober 2019,” pungkasnya. (*/berbagai sumber/tim redaksi 04/Safarudin)